Senin, 09 Januari 2012

Terlambat




Ada cerita menarik yang saya kutip dari kisah nyata seorang kawan isteri saya sewaktu kuliah di Jogja.
Suatu pagi di depan kelas, seorang dosen sedang mengajar mahasiswa. Tiba-tiba ada mahasiswi yang terlambat masuk dan meminta ijin sang dosen agar bisa mengikuti kuliah.
Mahasiswi tersebut berkata, “Maaf, Pak, saya terlambat.”
Dosen dengan agak marah lalu bertanya, “Lho, memang siapa yang bertanggung jawab? Kalau Saudara terlambat, silahkan hubungi pihak yang bertanggung jawab. Bukan saya!”
Mahasiswi tersebut kaget tapi juga kebingungan. Kalimat sang dosen seolah jadi pertanda kalau dia tidak diijinkan masuk dan mengikuti kuliah.
Sang dosen mengulangi pertanyaannya, “Saudara terlambat?”
“Iya, Pak.” jawab mahasiswi.
“Ya sudah, sekarang cari siapa yang bertanggung jawab sehingga Saudara terlambat. Kan saya tidak berbuat apa-apa sama Saudara. Kenapa lapor sama saya?”
Seketika kelas jadi ramai. Banyak mahasiswa yang tertawa karena baru menyadari kalau ternyata dosen tersebut hanya bercanda. Maksud dosen “terlambat” adalah terlambat datang bulan alias haid. Wajar saja, jika itu terjadi pada mahasiswinya, tentu ia menolak dengan keras laporan seperti itu. Mahasiswi tersebut akhirnya tersenyum lega ketika sang dosen melanjutkan pernyataannya, “Silahkan duduk.”

Terlambat adalah kalimat yang jamak diucapkan, kejadian yang tidak jarang menimpa kita, masyarakat kita, bahkan tokoh negara sekalipun. Terlambat masuk kelas, terlambat masuk kantor, terlambat mengikuti rapat, terlambat pulang ke rumah, sampai terlambat menerima gaji bulanan.
Pagi tadi saya mengalami keterlambatan (jam) masuk kantor yang mestinya tidak terjadi dan menimpa saya, juga rekan-rakan saya. Ceritanya begini.
Biasanya, saya keluar dari teras rumah pukl 05.30 atau maksimal 05.35 untuk bisa sampai di stasiun dan menumpang kereta commuter line (CL) yang berangkat tepat pukul 06.50. Karena situasi yang tidak memungkinkan, saya baru keluar rumah pukul 05.50 dan diperkirakan sampai di stasiun pukul 06.05. Itu berarti saya harus naik kereta CL pukul 06.14.
Sayang sekali, kereta yang mestinya berangkat pukul 06.14 (berarti seharusnya kereta tiba sebelum waktu 06.14), baru tiba di stasiun pukul 06.32. Ketika berhenti, kondisi penumpang penuh sesak. Sulit sekali dimasuki penumpang baru akibat dari keterlambatan pemberangkatan dari stasiun sebelumnya. Kontan sebagian besar penumpang tidak bisa masuk ke dalam kereta dan harus menunggu kedatangan kereta berikutnya.
Tepat pukul 06.42 kereta pun datang. Kali ini jumlah penumpang lebih sedikit daripada kereta sebelumnya. Lima menit kemudian, kereta melaju menuju Kebayoran Lama, Palmerah, dan mengakhiri perjalanannya di stasiun Tanah Abang. Sekitar pukul 07.00 kereta memasuki area stasiun Tanah Abang, tapi harus menunggu selama sepuluh menit karena jalur 6 tempat kereta kami lansir sudah dihuni terlebih dulu oleh kereta ekonomi tujuan Serpong. Tepat pukul 07.10 kereta kami masuk stasiun Tanah Abang.
Penumpang dengan lincah berloncatan dari pintu keluar kereta api menuju tangga stasiun, persis ikan hidup yang digoreng di penggorengan. Lincah sekali bergerak, dan nampak terburu-buru. Maklum, sebagian besar penumpang adalah karyawan baik negeri maupun swasta yang terikat dengan jam kedatangan kantor. Terlambat sedikit saja, potongan gaji siap menanti.
Sementara aku lebih memilih menikmati jalan kaki hingga ke pemberhentian bus dan angkutan kota di bawah flyover. Meskipun kecewa karena ternyata Kopaja 502 yang biasa kutumpangi belum datang (kulihat penumpang lain juga banyak menunggu), aku tetap bersikap tenang karena ada senjata pamungkas yang kumiliki yang akan kutunjukkan pada akhir tulisan ini.
Setelah menunggu sekitar lima menit, bus langganan pun tiba: Kopaja 502. Jalan pelan-pelan sambil menunggu penuh penumpang, bus pun akhirnya melaju dengan kecepatan normal. Sial! Di underpass Jatibaru, lampu lalu lintas menyala merah. Menunggu sekitar 30 detik, bus melaju cukup kencang dan aku berharap bisa tiba di kantor tepat waktu, maksimal pukul 07.30. Ternyata aku harus mendapati lampu merah untuk kedua kali, persis di perempatan Hotel Millennium, Kampung Bali. Sopir Kopaja melepas pedal gas dan menginjak rem kuat-kuat. Penumpang sebagian menahan posisi badannya dengan berpegangan tangan pada besi plafon bus agar tak terbawa ke depan. Tak berapa lama, lampu hijau menyala.
Kali ini bus melaju dengan kecepatan sedang karena tidak lama lagi pintu masuk menuju Bank Indonesia akan dilewati. Sebagian penumpang akan turun pada titik ini. Perjalanan dilanjutkan dan lagi-lagi kami harus berhenti di perempatan Kebon Sirih karena lampu lalu lilntas menyala merah. Seterusnya sampai di perempatan Sabang hingga bundaran Tugu Tani, lampu merah selalu menyala.
Teman sekantor menyapaku dan mengajakku berjalan cepat ketika sampai di lampu merah Tugu Tani, mengingat waktu semakin mepet. Aku lihat jam tangan, jarum menunjuk ke pukul 07.33. Jelas batas keterlambatan lewat sudah. Mendapati tawaran seperti itu, aku cuma senyum lalu kukatakan kepadanya, “Sudah terlambat, kok. Biar aja…”
Tak berapa lama, akhirnya jari jempol tangan kanan kuletakkan di mesin finger print tepat pukul 07.35. Ini berarti terlambat lima menit dari waktu yang ditentukan. Aku tetap santai. Anda mau tahu mengapa saya bersikap demikian? Inilah rahasianya:
Pasal 9 huruf c Peraturan Menteri Keuangan Nomor 214/PMK.01/2011 tanggal 14 Desember 2011 yang menyatakan, “Khusus bagi Pegawai yang berlokasi kerja di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta berlaku ketentuan sebagai berikut: Pegawai yang terlambat masuk bekerja sebagaimana dimaksud pada huruf a berupa Tingkat Keterlambatan 1 (TL 1) diwajibkan untuk mengganti waktu keterlambatan selama 30 (tiga puluh) menit setelah jam pulang bekerja pada hari yang bersangkutan.”
Hal tersebut berarti bahwa jika ada pegawai terlambat sampai batasan waktu TL 1 (terlambat sampai dengan 30 menit), pegawai tersebut “cukup” menggantikan jam kerja selama 30 menit setelah jam pulang kerja alias wajib lembur.
Ketentuan ini cukup manusiawi, mengingat transportasi di Jakarta memang cukup padat dan rawat terlambat. Contoh paling nyata adalah apa yang aku alami hari ini. Faktor-faktor di luar diri kita seperti kualitas pelayanan angkutan umum, cuaca, dan kepadatan lalu lintas, seringkali menjadi penyebab keterlambatan kita untuk datang ke kantor.
Dengan demikian, kita menjadi lebih tenang dan tidak perlu lagi terburu-buru datang ke kantor demi mengejar angka maksimal 07.30 terpampang di finger print dengan segala cara: naik bajaj, naik ojek, dengan kecepatan di atas rata-rata.Semoga ketentuan ini tidak kontrapoduktif dalam arti menjadikan kita meremehkan ketentuan jam kerja. Aturan bahwa kita harus hadir paling lambat pukul 07.30 tetap harus diikuti semampu kita. Jika toh ternyata kita harus datang terlambat, upayakan jangan disebabkan faktor internal karena kejujuran dan profesionalisme adalah nilai-nilai yang kita perjuangkan bersama di rumah kita yang bernama Kementerian Keuangan.