Kamis, 29 Desember 2011

Tahun Kesedihan



Kehidupan manusia banyak berupa pengulangan dari kejadian masa lalu dengan beberapa modifikasi sesuai dengan kemampuan manusia menangani masalah dan persoalan yang dihadapi. Jika kita saat ini mengalami kesedihan, jangan lupa bahwa orang-orang terdahulu pun mengalami hal yang sama, bahkan bisa jadi lebih sulit lagi. Jika ada orang yang merasa terzalimi, ingatlah bahwa pada masa lampau sudah banyak orang yang teraniaya baik karena ulah penguasa atau karena kesalahannya sendiri. Oleh karena itu, sangat bijak nasihat pahlawan proklamator kita, Bung Karno, untuk tidak sekali-kali melupakan sejarah.
Ada kejadian yang sangat menggemparkan pada kuartal pertama tahun 2010 yang dengannya sendi-sendi kepercayaan publik kepada pemerintah nyaris berada pada titik nadir. Peristiwa yang hampir semua penduduk di negeri bernama Indonesia tidak akan melupakannya. Kejadian yang mirip sebuah sandiwara, tetapi nampak nyata. Peristiwa ketika seorang anak negeri—dalam usia masih sangat muda—melakukan perbuatan tercela menerima sejumlah uang yang mestinya bukan menjadi haknya, kemudian dituntut dengan tuntutan yang sangat ringan dan bahkan dibebaskan oleh pengadilan. Media massa pada pertengahan Maret 2010 mencatat sebuah nama untuk kasus yang satu ini: Gayus Halomoan Partahanan Tambunan atau biasa disebut dengan Gayus Tambunan.
Kasus ini bermula dari pernyataan mantan Kabareskrim Polri, Susno Duadji, pada tanggal 18 Maret 2010 yang menyebut bahwa ada perwira tinggi kepolisian sengaja membuka blokir rekening pegawai pajak berinisial GT senilai Rp 28 milyar padahal saldo uang dalam rekening tersebut akan dijadikan alat bukti tindak pidana yang tengah disidangkan di Pengadilan Negeri Tangerang. Kala itu, Susno Duadji menyebut istilah makelar kasus atau markus. Maksud hati menyerang sejumlah petinggi di kepolisian, tiupan angin Susno Duadji justeru berhembus kencang di Ditjen Pajak. Bukan perwira kepolisian lagi yang menjadi fokus perhatian kasus ini, melainkan aparat dan institusi Ditjen Pajak.
Saya menyebut kasus Gayus Tambunan sebagai sesuatu yang menggemparkan dan menyebabkan kepercayaan publik nyaris pada titik nadir, bukanlah tanpa alasan. Fakta menunjukkan bahwa hanya dalam tempo sekitar dua bulan sejak kasus Gayus Tambunan diberitakan dengan sangat bombastis oleh media massa, publik melalui jejaring sosial facebook menyerukan gerakan boikot bayar pajak. Meskipun sang penyeru dan pengikutnya belum tentu merepresentasikan suara para Wajib Pajak, seruan tersebut terdengar sangat nyaring di berbagai media seolah mengamini apa yang menjadi harapan pihak-pihak yang selama ini senang mengemplang bayar pajak.
Belum lagi seruan boikot bayar pajak surut, cobaan berat juga dialami para PNS Ditjen Pajak dalam berbagai bentuk. Ada yang dituduh korupsi hanya karena mempunyai rumah dan mobil bagus, dikucilkan dalam forum rapat RT, bahkan ditolak orang tua dan kerabat ketika memberikan sejumlah uang padahal uang itu halal adanya. Belum lagi jika ada pegawai naik angkutan umum hendak turun di Kantor Pusat Ditjen Pajak diteriaki kondektur dengan mengatakan, “Gayus, Gayus…!” Saya sendiri mendengar bisik-bisik tetangga di teras, ada yang mengatakan, “O… ternyata orang pajak bisa kayak caranya gitu ya?” Kebetulan di kompleks tempat saya tinggal banyak alumni STAN yang bekerja di kantor pelayanan pajak.
Reaksi pegawai Ditjen Pajak juga beragam. Ada yang menganggapnya sebagai isu yang suatu saat pasti akan hilang (karena bangsa Indonesia adalah bangsa pelupa), ada yang lebih bersemangat dalam bekerja dengan harapan tudingan miring masyarakat dapat diatasi melalui kerja nyata. Namun, ada juga yang memutuskan atau setidaknya mempertimbangkan untuk mengundurkan diri atau keluar dari pekerjaannya sebagai PNS Ditjen Pajak, dengan segala risiko yang harus dihadapi terutama soal finansial. Saya menyebut tahun 2010 sebagai ‘amul huzni (tahun kesedihan) bagi keluarga besar Ditjen Pajak.
Istilah ‘amul huzni saya ambil dari catatan sejarah ketika Nabi Muhammad SAW ditinggalkan oleh orang-orang tercintanya yaitu Abu Thalib (paman yang selalu memberikan perlindungan bagi tugas dakwah beliau) dan istri beliau, Khadijah, yang wafat pada sekitar dua atau tiga bulan setelah wafat Abu Thalib. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun kesepuluh kenabian, ketika usia Nabi Muhammad SAW menginjak 50 tahun. Pada masa itu cobaan yang beliau alami lebih berat daripada saat Abu Thalib dan Khadijah masih hidup. Ini hanyalah sebuah pengandaian, permisalan yang mungkin tidak seluruhnya tepat.
Gayus Tambunan bukanlah orang lama bekerja di Ditjen Pajak, tetapi juga bukan orang yang baru sama sekali. Pada saat kasusnya mencuat, dia telah mengalami masa kerja selama sepuluh tahun. Selama masa kerja itu, media mencatat kekayaan Gayus telah mencapai Rp 100 milyar baik berbentuk uang rupiah dan dolar, maupun emas batangan, dari hasil kongkalingkongnya dengan Wajib Pajak. Sebuah angka yang sangat besar bila dibandingkan dengan kewajaran penghasilan pegawai pada umumnya. Publik lalu menggeneralisasi angka tersebut dengan mengatakan, “Jika Gayus yang hanya golongan III/a dan bekerja selama sepuluh tahun bisa meraup uang sebesar itu, bagaimana dengan pegawai yang bergolongan lebih tinggi dengan masa kerja yang tentunya lebih lama lagi?” Sebuah pertanyaan sekaligus pernyataan yang tendensius dan tidak mudah dijawab mengingat berkaitan dengan persoalan integritas pegawai dalam bekerja dan mencari rejeki yang halal. Di sini lain, layak diketahui bahwa tidak semua pegawai Ditjen Pajak berkelakuan seperti Gayus.
Persoalan kewajaran harta pegawai Ditjen Pajak inilah yang banyak ditanyakan publik. Maka, beberapa saat kemudian, perhatian masyarakat beralih pada wajar tidaknya laporan kekayaan pegawai Ditjen Pajak di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan menyoroti dua titik rawan: jumlah harta kekayaan dan sumbernya.
Jadilah kini Ditjen Pajak sebagai institusi yang begitu mudahnya diobok-obok atas nama pembersihan institusi, normalisasi kewibawaan pemerintah, sampai pemberian sanksi kepada pegawai yang diindikasikan menyalahgunakan jabatan dan wewenang. Batasan kerahasiaan jabatan sebagaimana amanah Pasal 34 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan tidak lagi diindahkan, bahkan cenderung dilanggar. Lihat saja kejadian ketika Menteri Keuangan meloloskan permintaan kepolisian agar Ditjen Pajak memberikan data nama-nama Wajib Pajak yang diindikasikan berhubungan dengan kasus Gayus Tambunan padahal Wajib Pajak tersebut tidak sedang disidang di pengadilan. Permintaan tersebut menjadi buah simalakama untuk dipenuhi oleh aparat Ditjen Pajak. Di satu sisi, aparat diminta merahasiakan hal-hal yang diketahuinya mengenai Wajib Pajak kepada pihak lain, sementara Menteri Keuangan telah memerintahkan agar aparat pajak memberikan data nama-nama Wajib Pajak yang terkait dengan kasus Gayus. Pilihan yang tidak mudah.
Sebagai bagian dari keluarga besar Ditjen Pajak, saya mesti mengambil sikap berkaitan dengan badai yang tengah melanda institusi tempat saya bekerja. Saya sangat memahami kegalauan sebagian besar pegawai Ditjen Pajak sebagaimana juga pernah saya alami. Bagaimana tidak. Kami harus membagi konsentrasi untuk bekerja sebagaimana biasa, tetapi di sisi lain kerja keras kami seolah-olah tidak dihargai. Masyarakat dengan seenaknya menuduh semua pegawai Ditjen Pajak bobrok moral. Apalagi jika menilik komentar berita di internet, miris sekali hati ini. Tapi, sebagai insan yang memiliki keyakinan kepada Allah, saya teringat pada sebuah firman Allah dalam kitab-Nya yang suci dan mulia, “(orang-orang yang sabar adalah) orang yang ketika mendapatkan musibah mereka berkata, ‘Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Allah’. Mereka itulah orang-orang yang mendapatkan keselamatan dan kasih sayang dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Quran Surat Al Baqarah ayat 156-157).
Masih ada satu lagi nasihat yang pernah saya dengar berkaitan dengan sikap kita manakala menghadapi ujian dan cobaan dalam hidup. Difirmankan dalam Alquran Surat Ali Imran ayat 146, “Dan berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar.”
Ayat tersebut meskipun berbicara tentang perang Uhud pada masa Nabi Muhammad SAW menghadapi pasukan Quraisy Mekah, ditutup dengan kalimat “Allah menyukai orang-orang yang sabar”. Itu berarti ayat ini berbicara tentang sifat-sifat orang yang sabar yaitu:
1. Tidak menjadi lemah karena mendapatkan bencana;
2. Tidak lesu ketika ada masalah;
3. Tidak mudah menyerah menghadapi persoalan hidup.
Dua nasihat dalam firman-Nya yang agung di atas mengingatkan kita agar segera menyadari bahwa ujian yang menimpa Ditjen Pajak sebagai tulang punggung pencari penerimaan negara, hakikatnya datang dari Allah dan harus disikapi dengan arif, kembali kepada-Nya. Itu berarti pihak-pihak yang memang bersalah layak untuk dihukum, sementara orang-orang yang tidak bersalah tidak sepatutnya mendapatkan getah akibat tindakan oknum di Ditjen Pajak.
Kedua, perlu kesadaran kita semua sebagai aparat Ditjen Pajak untuk memiliki mental baja di tengah cibiran dan gunjingan masyarakat. Kita berusaha untuk tidak terlalu peduli—bukan tidak peduli sama sekali—terhadap tudingan miring masyarakat, apalagi jika kita memang tidak melakukan tindak kejahatan. Dalam bahasa KITSDA, “Kalau benar, mengapa mesti gusar?”.
Ketiga, kita harus punya keyakinan bahwa setiap masalah pasti ada solusinya. Oleh karena itu, tidak layak jika kita sebagai insan beriman hanya duduk berpangku tangan membiarkan orang-orang yang tidak suka institusi Ditjen Pajak yang tengah berbenah melakukan reformasi birokrasi—kami menyebutnya modernisasi DJP—merusak institusi pengaman penerimaan pajak ini. Sementara itu, bisa jadi, ketidakpercayaan publik kepada Ditjen Pajak berimbas pada ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah. Jika ini terjadi, tidak mustahil kekacauan di negeri ini kembali terulang. Sesuatu yang sangat tidak kita inginkan.
Sebagai bagian akhir, saya ingin menyampaikan bahwa saat ini—pertengahan tahun 2011—pengadilan telah memutuskan pihak-pihak yang bersalah melakukan tindakan pidana baik dari Ditjen Pajak, kepolisian, maupun kejaksaan. Biarlah proses hukum itu berjalan sebagaimana mestinya. Sebagai aparat Ditjen Pajak, sudah selayaknya kita mensyukuri karunia Allah berupa modernisasi Ditjen Pajak dengan segala dampak positif yang ditimbulkan, mulai dari peningkatan disiplin pegawai, perubahan mind set pegawai ke arah yang positif, peningkatan penerimaan pajak yang cukup signifikan, termasuk pemberian remunerasi berdasarkan tingkatan kinerja pegawai. Bentuk rasa syukur yang paling nyata adalah dengan bekerja dengan sungguh-sungguh sesuai dengan standard operating procedure (SOP), kode etik pegawai, dan keahlian kita. Berikutnya, kita berkewajiban mengawal terus proses reformasi birokrasi di Ditjen Pajak ini agar senantiasa berada di rel yang benar dan tidak membelokkannya ke arah yang tidak kita inginkan.
Ditjen Pajak adalah milik bangsa, milik kita bersama. Denyut nadi kehidupan bernegara sangat ditentukan oleh kesehatan finansial yang bersumber dari pajak. Oleh karena itu, mari kita tetap bertahan di tengah badai yang berpotensi merusak semangat reformasi di Ditjen Pajak dengan tetap mengharapkan taufik-Nya, menegakkan kepala seraya tetap bekerja untuk Indonesia.
Jurangmangu, awal Agustus 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar