Senin, 08 Juni 2009

Kapan Pengusaha Kena Pajak Dikukuhkan?

Dimuat di Majalah Berita Pajak Edisi 1-15 Mei 2009 hal. 26



Pajak Pertambahan Nilai (PPN) memiliki sejumlah karakteristik di antaranya adalah pajak tidak langsung. Ada dua hal yang patut dicatat sehubungan dengan PPN sebagai pajak tidak langsung ini. Pertama, PPN dikenakan tidak kepada pihak yang melakukan penyerahan atau tidak langsung dikenakan kepada Subjek Pajak sebagaimana berlaku pada PPh. Artinya, tujuan pengenaan PPN adalah konsumen yang memperoleh Barang Kena Pajak (BKP) atau menikmati Jasa Kena Pajak (JKP). Pengenaan PPN pada setiap mata rantai penyerahan (multi stage levy) dilakukan karena pada setiap mata rantai penyerahan ada pertambahan nilai yang merupakan objek PPN. Kedua, adanya pengenaan PPN kepada konsumen, bukan berarti pihak yang menyerahkan BKP atau JKP lepas tangan dari kegiatan pemungutan PPN. Dalam hal ini, pembeli BKP atau penikmat JKP merupakan penanggung beban pajak, sedangkan penjual BKP atau yang menyerahkan JKP adalah penanggung jawab pemungutan PPN.


Untuk dapat melaksanakan hak dan kewajiban dalam pemungutan PPN, Pengusaha yang menyerahkan BKP dan atau JKP harus dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Penulis akan sedikit menguraikan pengertian Pengusaha dan Pengusaha Kena Pajak. Dalam Pasal 1 angka 14 UU PPN 1984 dinyatakan bahwa Pengusaha adalah orang pribadi atau Badan yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean. Selanjutnya, dalam Pasal 1 angka 15 UU PPN disebutkan bahwa Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha sebagaimana dimaksud dalam angka 14 yang melakukan penyerahan BKP dan atau JKP yang dikenakan pajak berdasarkan undang-undang ini, tidak termasuk Pengusaha Kecil yang batasannya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, kecuali Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.


Dengan memperhatikan uraian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 14 dan angka 15 UU PPN di atas, kita dapat memahami bahwa pada dasarnya setiap Pengusaha yang melakukan penyerahan BKP dan atau JKP adalah Pengusaha Kena Pajak. Jika syarat material/yuridis ini terpenuhi, semestinya Pengusaha tersebut meminta pengukuhan sebagai PKP kepada Kantor Direktorat Jenderal Pajak. Jika hal ini dilakukan, secara administratif PKP yang bersangkutan sudah dinyatakan legal untuk melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai PKP di antaranya membuat Faktur Pajak, memungut, menyetorkan, dan melaporkan PPN yang terutang atau yang masih harus dibayar.


Pengecualian terhadap kewajiban untuk dikukuhkan sebagai PKP berlaku terhadap Pengusaha Kecil, yaitu pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan BKP dan atau JKP dengan jumlah peredaran dan atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp600 juta (Keputusan Menteri Keuangan Nomor 522/KMK.04/2000 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 571/KMK.03/2003). Satu hal yang penting untuk dicatat adalah saat kapan diketahui bahwa Pengusaha termasuk Pengusaha Kecil. Dengan menilik KMK-522 tahun 2000 jo. KMK-571 tahun 2003, kondisi yang menjadi dasar tidak dikukuhkannya Pengusaha menjadi PKP adalah peredaran yang diperoleh selama satu tahun buku. Tentunya hal ini harus dibuktikan dengan laporan keuangan yang dibuat oleh Pengusaha tersebut yang mencerminkan besarnya peredaran usaha selama satu tahun buku, bukan perkiraan atau silat lidah untuk menghindari pengukuhan PKP.


Jika demikian halnya, kapan Wajib Pajak seharusnya meminta pengukuhan sebagai PKP, atau jika diharuskan, kapan fiskus menetapkan status PKP kepada Wajib Pajak dalam hal pengukuhan secara jabatan? Jawabannya adalah pada saat syarat meterial/yuridis terpenuhi, yaitu apabila Wajib Pajak melakukan penyerahan BKP dan atau JKP, atau apabila dalam suatu Masa Pajak peredaran Wajib Pajak telah melebihi batasan Pengusaha Kecil. Oleh karena itu, apabila pada saat pendaftaran NPWP diketahui bahwa usaha Wajib Pajak adalah melakukan penyerahan BKP dan atau JKP, atau peredaran usaha yang menyerahkan BKP dan atau JKP tersebut telah melampaui batasan Pengusaha Kecil, Wajib Pajak tersebut seharusnya dikukuhkan sebagai PKP.


Timbul pertanyaan: bukankah peredaran usaha Wajib Pajak pada saat pendaftaran NPWP belum melampaui batasan Pengusaha Kecil? Pertanyaan ini dapat kita kembalikan dengan mengemukakan pertanyaan: dengan dasar atau bukti apa Wajib Pajak menyatakan bahwa peredaran usahanya tidak melampaui batasan Pengusaha Kecil? Ingat, bahwa sesuai dengan KMK-522 tahun 2000 jo. KMK-571 tahun 2003, kepastian bahwa peredaran Wajib Pajak tidak melampaui batasan Pengusaha Kecil adalah setelah kita melihat peredaran selama satu tahun buku. Oleh karena itu, pada saat pendaftaran NPWP, sepanjang syarat material terpenuhi, lakukan pengukuhan Wajib Pajak sebagai PKP. Baru pada saat akhir tahun laporan keuangan dibuat dan diketahui bahwa peredaran usaha Wajib Pajak tidak melampaui batasan Pengusaha Kecil, status PKP tersebut dapat dicabut. Apabila setelah status pengukuhan PKP tersebut dicabut ternyata peredaran usaha Wajib Pajak melampaui lagi batasan Pengusaha Kecil, Wajib Pajak wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP paling lambat akhir bulan berikutnya setelah bulan terlampauinya peredaran usaha tersebut.


Fenomena yang terjadi adalah banyak Wajib Pajak yang ketika mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP menolak untuk dikukuhkan sebagai PKP dengan alasan bahwa usaha baru dimulai sehingga peredaran usahanya belum melampaui batasan Pengusaha Kecil. Sementara di sisi lain, banyak Wajib Pajak yang meminta untuk dikukuhkan sebagai PKP pada saat mereka akan mengikuti tender baik dengan pemerintah maupun non pemerintah. Ada hal yang sangat serius yang perlu kita pikir masak-masak, yaitu dampak dari tertundanya status pengukuhan PKP bagi Wajib Pajak yang dalam usahanya nyata-nyata melakukan penyerahan BKP dan atau JKP.


Pertama, Wajib Pajak selalu akan berupaya agar peredarannya tidak melampaui batasan Pengusaha Kecil karena dari pengalaman rekan bisnis mereka, menjadi PKP akan menambah keruwetan administrasi pajak, dari mulai membuat Faktur Pajak, melakukan pengkreditan Pajak Masukan dan Pajak Keluaran, sampai tahap pembayaran dan pelaporan dengan sarana SPT Masa PPN. Belum lagi kalau peredaran usahanya pada SPT Tahunan PPh atau laporan keuangan diequalisasi dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPN. Jika tidak paham betul dengan masalah pajak, Wajib Pajak kesulitan menjawab ketidaksamaan peredaran usaha dengan DPP tersebut.


Kedua, akibat dari pemilahan Wajib Pajak sebagai PKP dan non PKP sedangkan jenis usaha, jenis BKP dan atau JKP, termasuk besarnya peredaran usaha Wajib Pajak identik atau hampir sama, menyebabkan persaingan usaha menjadi tidak sehat. Hal ini disebabkan naiknya harga jual kepada konsumen akhir akibat pengenaan PPN dalam harga jual sebagai DPP. Konsumen tentu akan lari untuk membeli barang kepada Wajib Pajak yang tidak dikukuhkan sebagai PKP dibandingkan yang berstatus PKP karena pasti harganya lebih murah. Di sini, netralitas PPN sebagai pajak atas konsumsi ternodai.


Ketiga, lemahnya pengawasan terhadap Wajib Pajak yang seharusnya dikukuhkan sebagai PKP menyebabkan upaya ekstensifikasi terhadap PKP baru dan intensifikasi penerimaan PPN terganggu. Penyerahan BKP dan atau JKP yang semestinya diikuti dengan pemungutan PPN kepada konsumen tidak berjalan karena syarat pemungutan adalah pihak yang menyerahkan BKP dan atau JKP harus berstatus sebagai PKP. Bukankah pemungutan PPN oleh bukan PKP akan berakibat sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perpajakan? Belum lagi ketika Bendaharawan bertransaksi dengan bukan PKP padahal barang atau jasa yang seharusnya diperoleh adalah BKP dan atau JKP, hal ini semakin menambah masalah dalam pengukuhan PKP serta pemungutan PPN mengingat status Bendaharawan sebagai Pemungut PPN.


Kenyataan tersebut seharusnya cukup menjadi bahan evaluasi dan pembelajaran bahwa selama ini kita salah memahami tentang batasan Pengusaha Kecil dan membiarkan potensi ekstensifikasi dan intensifikasi di bidang PPN lolos begitu saja. Agaknya perlu penyamaan pemahaman khususnya terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam KMK-522 tahun 2000 jo. KMK-571 tahun 2003 sehingga pengukuhan PKP terhadap Wajib Pajak yang menyerahkan BKP dan atau JKP dapat dilaksanakan secara seragam. Ke depan, kita berharap tidak ada lagi Wajib Pajak yang merasa iri dan mengeluh dengan statusnya sebagai PKP sementara partner bisnis atau bahkan pesaingnya belum ber-PKP (kecuali kalau memang terbukti bahwa Wajib Pajak tersebut masih tergolong Pengusaha Kecil). Kita ingin agar dengan implementasi ketentuan ini secara benar, PPN bukan menjadi faktor penghambat kemajuan usaha Wajib Pajak sehingga netralitas PPN sebagai pajak objektif dapat terwujud.