Jumat, 12 November 2010

Dari Gelap Menuju Cahaya



Tulisan ini diambil dari salah satu artikel dalam buku BERKAH (Berbagi Kisah dan Harapan) yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak pada akhir tahun 2009. Judul diambil dari kutipan ayat Alquran minazh zhulumaati ilannuur, sekaligus menggambarkan isi tulisan yang bercerita tentang reformasi birokrasi (baca: modernisasi) di lingkungan DJP yang melahirkan suatu era kemenangan bagi kebenaran, profesionalisme, nilai-nilai moral, dan kode etik. Inilah tulisan selengkapnya (sebelum diedit sebagaimana terdapat dalam buku BERKAH). Selamat membaca.


Hari itu, Sabtu, di bulan September 1997. Aku harus melakukan registrasi karena aku dinyatakan lolos tes memasuki salah satu perguruan tinggi kedinasan favorit di Jakarta (lebih tepat Tangerang, kebetulan berbatasan dengan Bintaro Jaya). Saat hendak memasuki pintu registrasi, salah seorang panitia, sebut saja namanya P, bertanya dengan nada tinggi, “Mau apa Kau ke sini?” Aku menjawab, “Registrasi, Kak.” Ya, Kak adalah panggilan yang aku rasa paling tepat untuk memanggil kakak seniorku di perguruan tinggi itu.
Seniorku melanjutkan pertanyaannya, “Ambil jurusan apa?”
Jawabku dengan sedikit ketakutan, “Pajak, Kak.”
“Pajak? Mau jadi koruptor, ya?”
Bingung. Aku mesti jawab apa. Aku tidak tahu apakah itu gaya yang disengaja dari seorang senior mahasiswa atau memang kebenaran yang terjadi di negeri ini. Bahwa pajak identik dengan para koruptor. Saat itu aku tidak terlalu peduli dengan kodisi bangsa. Yang aku tahu hanya belajar, belajar, dan belajar. Aku bahagia bisa diterima di perguruan tinggi yang gratis, setidaknya bisa meringankan beban ekonomi orang tua.
***
Selang tiga tahun, aku lulus dan ditempatkan di KPP S. Sebuah kota yang sama sekali belum ada di kamus kehidupanku. Apalagi ketika berpamitan dengan seniorku ketika praktek kerja lapangan (PKL) di KPP T, mereka berkata, “Untung kamu. Ditempatkan di tempat bagus. Kota S adalah dambaan kita-kita. Selamat, deh!”
Untung? Dambaan? Apa pula itu? Aku hanya berpikir, inilah tugas. Penempatan di manapun sama saja. Toh sewaktu menulis lamaran sebagai PNS kepada Menteri Keuangan, salah satu kontraknya adalah Siap Ditempatkan Di Manapun. Itu janji. Titik
Aku penempatan di Kota S sejak 1 Desember 2000. Di tempat yang baru itu, aku belum bisa melakukan apa-apa, kecuali membantu beberapa pelaksana untuk mengirimkan surat ke Subbagian Umum, atau sekadar membelikan sesuatu (ATK, dan sebagainya). Terlebih lagi, aku merasa tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan pegawai yang sudah berpengalaman mesti pendidikan mereka hanya SMP atau SMA. Dulu, ketika kuliah, aku diajari cara mengisi SPT dengan benar, jelas, dan lengkap sebagaimana ditentukan dalam UU KUP, ternyata hal itu tidak bisa serta-merta dilakukan di sini. Mereka, para senior yang—bahkan (maaf)—berpendidikan SMP atau SMA itu, sangat mahir mengerjakan SPT. Ketika aku tanya, “SPT siapa, Bu?” Dengan enteng mereka menjawab, “Oh, ini punya WP A.” Sementara ada seorang bapak yang lain menjawab, “Biasa, Dik, njahit. Buat tambahan.”
Njahit adalah kata yang sangat halus untuk mengatakan bahwa mereka mengerjakan sesuatu yang semestinya dikerjakan oleh Wajib Pajak. Tentu dengan imbalan tertentu yang belakangan aku ketahui ternyata tarifnya kadang-kadang tidak murah.
***
Pada bulan kelima bekerja, aku mendapatkan rapel tunjangan khusus. Oleh Kasubsi yang membawahi Bendahara kantor, aku diberitahu bahwa telah terjadi kesalahan penghitungan sehingga pembayaran tidak dibayar sepenuhnya alias kurang bayar. Melihat kejadian ini, kawan seangkatanku yang kebetulan ditempatkan satu kantor denganku marah. Dia tidak bisa menerima kejadian ini. Kami bermusyawarah. Akhirnya, Kasubsi menawarkan solusi, “Oke, gini aja, Dik. Kekurangannya biar menjadi tanggung jawab saya. Nanti saya tambahkan. Kebetulan saya punya usaha di rumah. Nggak apa-apa. Gampang.”
Aku tidak tahu usaha macam apa yang dilakukan bapak tadi. Sampai suatu ketika, kekurangan pembayaran pun lunas sudah. Aku menerima dengan penuh kepasrahan—karena sebagai pegawai baru belum banyak hal yang bisa dilakukan, pikirku. Sementara kawanku menolak. Dia mendapatkan informasi bahwa Kasubsi tadi tidak punya usaha. Dia mendapatkan uang dengan cara tidak halal kemudian uang itu dibagi-bagi, termasuk untuk melunasi kekurangan pembayaran tunjangan kami. Astaghfirullah! Masak, sih? Aku masih belum memahami hal demikian.
Dua tahun kemudian, aku mendapatkan tugas pemeriksaan Wajib Pajak. Ketika itu tahun 2003. DJP memprogramkan pencairan cepat untuk mengamankan penerimaan pajak melalui pemeriksaan. Dengan semangat yang tinggi sebagai fresh graduate, aku berniat untuk mempraktekkan ilmu pemeriksaan yang dulu kudapat di perguruan tinggi. “Inilah saatnya buatku mempraktekkan ilmu. Sekaligus mengetahui apakah benar rumor tentang penyimpangan dalam pemeriksaan yang selama ini kudengar,” kataku dalam hati. Aku pun mendapatkan temuan yang mencengangkan. Pajak yang kurang dibayar minimal Rp 80 juta. Spektakuler! Aku saja belum pernah melihat uang sebanyak itu.
Singkat cerita, supervisor memanggilku dan memintaku mempertimbangkan temuanku itu. Katanya, “Mas, coba Mas pikir. Usaha grosir kayak gitu untungnya tidak sampai lima persen. Bagaimana mungkin akan kita kenakan norma 20%. Apa nggak kasihan, Sampeyan?”
“Tapi, Pak…..,” sergahku, “usahanya ramai sekali. Saya sempat nongkrong setengah hari untuk mendapatkan informasi yang akurat berapa penjualan dia. Pelanggannya bukan cuma pakai motor, tapi bahkan mobil bak.”
“Oke, instingmu sebagai pemeriksa aku hargai. Kita win-win solution aja, deh. Dia mau ngasih berapa, kita nego. Gimana?”
Perang antara iblis dan malaikat aku rasakan sangat dahsyat di dada. Ternyata rumor tentang korupsi itu benar. Bahkan sekarang ada di depan mata. Sebagai pelaksana, aku meminta pertimbangan Ketua Tim. Ternyata jawabannya normatif dan cenderung menurut apa kata Supervisor. Menyerah, aku pun berujar, “Gini aja, Pak. Saya sebenarnya keberatan dengan cara Bos kita. Saya berlepas tangan aja. Keputusan yang nanggung Supervisor. Bagaimana? Saya tidak punya kekuatan. Sebagai pelaksana, saya hanya bisa membuat laporan. Apa permintaan Supervisor, akan saya kerjakan.” Gila! Mungkin itu kata yang paling tepat untuk menggambarkan kepasrahanku di hadapan mereka yang kuanggap lebih senior dalam bekerja. Mengapa tidak menolak saja? Bukankah itu lebih baik?
Akhirnya, laporan kubuat sebagaimana kemauan Supervisor. WP pun menerima keputusan itu. Dan uang itu? Ini lebih sulit lagi. Untuk menerima atau tidak menerima, aku perlu konsultasi dengan pembimbing agamaku di rumah. Beliau bilang, “Agama jelas melarang risywah atau suap. Hukumnya haram. Berarti, Antum harus menolaknya. Tetapi, ada hal yang perlu dipikirkan lebih lanjut. Bagaimana hubungan kerja Antum dengan atasan? Juga dengan rekan-rekan yang lain? Saya tawarkan solusi yang moderat di tengah ketidakberdayaan Antum menghadapi cengkeraman kekuasaan. Terima uang itu, tetapi segera salurkan untuk kepentingan dan sarana sosial, bukan sarana ibadah apalagi dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi. Karena jika uang itu tidak diambil, uang itu akan dimanfaatkan oleh orang yang tidak mempunyai hati nurani. Mudaratnya akan lebih besar.”
Lingkungan di DJP saat itu menghendaki setiap pegawai untuk berperilaku yang sama dengan para “senior”nya. Tidak mengherankan jika kawan-kawan yang berpikir idealis memilih keluar dari DJP dan mencari pekerjaan di luar, meski berijazah lulusan D III Perpajakan. Bahkan, saat ini salah seorang kawan sekelasku memilih menjadi seorang ustadz di Kalimantan, demi menghindari kerusakan yang ditimbulkan akibat bekerja di DJP.
Tidak demikian halnya aku. Bagiku ini adalah ujian dari Allah. Apapun ujian yang diberikan oleh Allah, pasti mengandung hikmah. Setiap manusia yang lulus dengan satu ujian, akan ditingkatkan derajatnya di sisi-Nya. Inilah hukum Allah. Dia tidak akan membiarkan seseorang mengaku beriman sebelum diuji keimanannya. Alhamdulillah, pada akhirnya perubahan yang diharapkan pun terjadi. Melalui sebuah political will, Pemerintah RI mencanangkan reformasi birokrasi di DJP. Sejumlah perangkat dibentuk untuk menjadikan DJP lebih bersih dan bermartabat. Pengawasan diperketat, pembinaan mental, skill, dan spiritual dibangun. Pola pikir dan pola tindak diperbaiki. Hasilnya bisa aku rasakan sekarang. Bekerja lebih tenang, rejeki lebih barokah karena tidak lagi dicampuri dengan hal-hal yang dilarang oleh agama. Sekarang adalah era ketika setiap insan di DJP menunjukkan karya terbaiknya demi bangsa dan negara. Masalah penghasilan? No problem. Karena kami sekarang mendapatkan penghasilan yang lebih dari sekadar cukup, sehingga sangat tidak layak untuk berpikir bagaimana mengkorupsi uang negara. Terima kasih, ya Allah, atas karunia yang Engkau berikan bagi bangsa ini melalui reformasi birokrasi di DJP. Semoga kami tetap istiqomah. Amin.