Jumat, 30 Desember 2011

Menjadi Pribadi PasTI (Landasan Menuju Nilai-nilai Kementerian Keuangan)



Dulu ketika kuliah, dosen idola saya pernah berkelakar kalau besok pada Hari Pembalasan akan ada banyak orang pajak yang kakinya berada di bibir neraka. Dia beralasan, betapa tidak sedikit peraturan perpajakan yang tidak saja merugikan Wajib Pajak (walaupun ini sangat subjektif), tetapi juga menyimpang dari filosofi dasar perpajakan. Belum lagi perilaku culas, serakah, dan koruptif. Saya tidak perlu memperpanjang filosofi apa yang dilanggar dan perilaku macam apa itu karena fokus tulisan saya bukan pada masalah ini. Jadi, masih kata dosen tadi, malaikat tinggal mendorong orang pajak itu dengan ujung jarinya maka masuklah dia ke dalam neraka. Banyak dari kawan sekelas saya yang tertawa mendengar kelakar tadi, tapi ada pula yang senyum kecut. Apa iya? Namanya juga guyon alias gojek.
Sementara itu, dalam sebuah pertemuan dengan kawan saya—seorang motivator yang kebetulan banyak berinteraksi dengan pegawai DJP—berdoa di hadapan saya dengan sebuah doa yang menurut saya optimistis dan sangat menyejukkan. Dia mendoakan agar pegawai maupun mantan pegawai DJP menjadi barisan terdepan dari orang-orang yang akan masuk sorga di Hari Akhir nanti. Waktu itu saya tertawa. “Bisa saja, kamu!” Tapi, sejurus kemudian wajahnya menjadi nampak serius.
Dia mengatakan bahwa alasan yang mendasari doanya adalah betapa besar peran yang dimainkan oleh pegawai DJP dalam menjaga eksistensi negara Indonesia. Saat ini penerimaan pajak menduduki posisi penting dalam penerimaan negara dengan persentase yang tidak bisa dikatakan kecil. Bahkan, sangat besar. Tidak bisa dibayangkan, katanya, saat ini jika Indonesia tanpa pajak. Ibarat hidup tanpa nyala listrik di era yang serbamodern. Tentu saja keutamaan itu bisa diraih dengan satu syarat: IKHLAS. Nah! Itu yang berat, batin saya. Dia lalu mengaitkan fakta itu dengan perkataan Nabi SAW, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling bermanfaat bagi manusia.”
Kedua, DJP adalah pelopor reformasi birokrasi dengan lompatan kemajuan yang signifikan di saat institusi/lembaga/kementeraian lainnya di jajaran birokrasi belum melakukannya. Sesaat memori saya tertuju pada hasil survei sebuah lembaga luar negeri tahun 2007 yang memasukkan DJP sebagai penyumbang terpenting bagi peningkatan indeks korupsi (yang berarti penurunan perilaku korupsi) di negeri ini.
Ketiga, saat ini DJP mendapatkan ujian yang bertubi-tubi terutama kiritik pedas, pesimisme, skeptisme, bahkan cacian dan makian dari masyarakat sehubungan dengan perilaku koruptif segelintir oknum di DJP. Ada yang gusar, merasa terusik, tapi tidak sedikit yang tetap dan terus bekerja sungguh-sungguh di tengah ujian besar itu—demi mengisi pundi-pundi penerimaan negara. Bukankah beratnya ujian disesuaikan dengan kadar keimanan seseorang? Semakin kuat spiritual seseorang, semakin besar ujian yang akan dihadapi dan itu membuktikan bahwa Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa, masih menyayangi kita. Ujian diberikan kepada siapa saja untuk meningkatkan derajatnya di hadapan Tuhan. Mengenai ini, kawan saya menyitir satu ayat dalam Alquran, “Apakah kamu akan dibiarkan mengaku beriman padahal kamu belum diuji?”
Pada akhir uraian, kawan saya memuji semangat jajaran DJP yang tengah berusaha menegakkan nilai-nilai luhur berupa integritas, profesionalisme, inovasi, dan teamwork. Nilai-nilai itu sejalan dan amat bersesuaian dengan sifat-sifat yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul yang diutus kepada umat manusia untuk membawa kabar gembira berupa keselamatan bagi siapa yang mau mengikutinya.
Integritas adalah kata lain dari sifat SHIDIQ yang berarti jujur. Jujur bermakna satunya kata dan perbuatan. Orang yang antara perkataan dan perbuatannya kontradiktif menandakan bahwa dia belum jujur baik kepada diri sendiri, orang lain, apalagi Allah SWT.
Profesionalisme sejalan dengan sifat AMANAH. Orang yang profesional akan menjalankan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya dengan penuh tanggung jawab sesuai dengan SOP dan ketentuan yang berlaku, tanpa sedikit pun mencoba berlaku curang atau menyimpang. Amanah erat kaitannya dengan kejujuran. Semakin jujur seseorang, semakin banyak amanah yang akan dia terima karena semua orang percaya kepadanya. Amanah di RT, RW, tempat kerja, masjid, komunitas, dan sebagainya, ditentukan oleh seberapa mampu seseorang bersifat jujur. Jika amanah disia-siakan, semua kepercayaan masyarakat seketika akan runtuh.
Inovasi merupakan perwujudan dari kecerdasasan seseorang yang menandakan bahwa dia mempunyai sifat FATHONAH. Jika dikaitkan dengan integritas dan profesionalisme, seseorang yang mendapatkan amanah demikian banyak yang disebabkan kejujurannya, akan mencoba mencari cara terbaik dalam menjalankan amanah itu. Di sinilah inovasi diperlukan. Seorang kepala kantor harus cerdas menyiasati agar mampu mengelola semua lini di kantornya secara efisien dan efektif. Demikian pula pegawai pada level yang lain. Jika inovasi tidak ada, pekerjaan akan jalan apa adanya dan itu pertanda bahwa bemper amanah akan terkikis. Lama-kelamaan kepercayaan orang akan hilang.
Teamwork menunjukkan kemampuan seseorang baik sebagai staf maupun leader dalam berkomunikasi. Komunikasi berarti menyampaikan sesuatu (pesan) kepada orang lain yang mengarah pada kerja sama tim sehingga tercipta sinergi. Hal ini identik dengan sifat TABLIGH. Seorang pegawai yang baik harus mampu berkomunikasi dengan siapa saja tanpa harus memilih. Dia harus bisa bekerja dengan siapa saja. Tidak ada polarisasi, tidak ada eksklusivitas.
Mampukah kita berbuat demikian? Semoga.

Jakarta, 5 Februari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar