Kamis, 29 Desember 2011

Dari Kampung Rawa ke DJP



Saya tidak menyangka bahwa skenario Yang Maha Kuasa mengantarkan saya untuk mengabdi dan berkarya pada institusi Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Di sini rupanya berkumpul orang-orang yang bekerja menghimpun penerimaan negara. Dulu kami menyebutnya “orang pajak”. Setahu saya, orang pajak itu dermawan, suka memberi. Buktinya, paman saya paling senang kalau martabak dagangannya dibeli oleh langganannya dari kantor pajak karena mereka tidak saja ramah, tapi juga selalu membayar lebih besar daripada harga yang sebenarnya. Misalnya harga martabak dengan tiga telur ketika itu Rp 5.000,- maka si orang pajak tadi selalu membayar Rp 10.000,- tanpa minta uang kembali. “Buat Bapak aja,” katanya. Ini adalah kisah nyata yang dialami paman saya yang sampai sekarang masih berdagang martabak telor di depan apotek Gitamara Kemanggisan. Bukan hanya dermawan, tapi juga shalih. Buktinya, Masjid At Taqwa di kompleks pajak Kemanggisan berdiri dengan megah dan jamaahnya selalu banyak. Saya dulu selalu shalat Jumat di situ. Dalam benak saya ketika itu, “Hebat juga ya, orang pajak. Shalatnya rajin!” Selain jamaah yang banyak, masjid ini selalu membagikan daging kurban dalam jumlah yang cukup banyak apabila lebaran Idul Adha tiba. Saya juga mendapatkan jatah dagingnya untuk dimasak ibu saya. Biasanya jadi sate atau dendeng dicampur srundeng. Biar awet, katanya. Pembaca, saya yang saat ini menjadi pegawai DJP, dulu adalah penghuni Kampung Rawa yang terletak di sebelah barat Pusdiklat Pajak, Kemanggisan, Jakarta Barat. Menurut cerita yang saya dapat, dulu sekitar tahun 1960-an kampung ini masih berupa rawa-rawa luas yang terlantar (tanah tidur). Di sekitar pinggiran rawa itu, warga lama bercocok tanam sayur-sayuran dan menguruk rawa-rawa tersebut sedikit demi sedikit. Sekitar tahun 1965 warga mulai membangun rumah panggung sangat sederhana untuk tempat tinggal keluarganya. Bangunan rumah baru sedikit, hanya satu dua rumah saja yang terlihat. Sekitar tahun 1970, mulai banyak warga yang berdatangan entah dari mana untuk ikut mendirikan rumah di sekitar rawa-rawa tersebut. Maka, rumah kelihatan sudah mulai banyak. Pendirian rumah terus berlanjut hingga rawa-rawa itu tinggal kelihatan sedikit. Rumah berdiri dengan bentuk permanen dan semi permanen. Pertengahan tahun 1980-an, bangunan rumah warga Kampung Rawa mulai diperjualbelikan dari tangan ke tangan oleh calo tanah. Penjualan yang tidak resmi, memang. Tanpa sertifikat tanah. Meskipun demikian, tanah di tempat itu tetap dibeli orang. Orang tua saya mulai menghuni Kampung Rawa pada akhir tahun 1980-an setelah pindah dari kontrakannya di Palmerah (sekarang Kemanggisan Pulo), dekat Kuburan Besar Kemanggisan. Penghuni Kampung Rawa rata-rata adalah pedagang kaki lima, asongan, buruh bangunan bahkan pengemis. Ayah saya termasuk yang pertama, pedagang kaki lima di kawasan Pancoran. Kami menempati petak rumah (kalau bisa disebut rumah) seluas 1,5 kali 6 meter atau 9 meter persegi. Sejatinya itu adalah lorong antara rumah paman saya dan tetangganya. Daripada nganggur, kami berinisiatif memasang tiang dari kayu sederhana lalu diberi tripleks tipis ditambah dua pintu. Untuk memberi warna cerah, tripleks itu lalu ditempeli kertas putih yang dibeli secara kiloan kemudian dilekatkan dengan lem yang terbuat dari tepung kanji. Satu per satu kertas direkatkan sehingga seperti habis dicat warna putih. Jadilah rumah kami yang sangat indah saat itu. Lantainya dari plester semen tipis dilapisi karpet plastik supaya kelihatan manis. Jadi pantas dilihat kalau ada tamu datang. Kamar mandi? Heh, jangan tanya. Keluarga kami menumpang mandi di kamar mandi milik paman. Untuk kakus, warga biasa menggunakan jamban umum terbuka yang terbuat dari kayu dan dibangun di atas rawa, di depan rumah kami. Ini sungguhan, bukan rekayasa. Sebuah peristiwa memilukan terjadi. Berikut kronologisnya. Menurut sebuah catatan, pada tanggal 2 Oktober 1991 ada pemberitahuan lewat Walikota Jakarta Barat bahwa tanah hunian warga Kampung Rawa adalah tanah milik Ditjen Pajak, oleh karena itu, warga diminta pindah dan membongkar bangunannya. Warga tetap bertahan, serta tak mau membongkar dan meninggalkan rumah mereka. Berikutnya, 6 Januari 1992, Walikota Jakarta Barat mengeluarkan Surat Perintah Bongkar (SPB) tetapi warga menolak pembongkaran tersebut. Tanggal 13, 14, dan 15 Februari 1992, terjadilah peristiwa pembongkaran paksa yang dilakukan oleh tim terpadu (Kamtib bersama angkatan berseragam dan bersenjata lengkap di bawah komando BAKORTANASDA bersama tukang pukulnya). Akibatnya, warga yang tidak mampu menjadi berantakan tinggal di kolong-kolong jembatan, menjadi gelandangan, pengemis, serta banyak anak yang putus sekolah dan frustrasi berat bahkan ada yang meninggal dunia. Keluarga kami akhirnya pindah dan mengontrak di Pejaten Barat, Pasar Minggu. Rumah yang sebelumnya kami tempati tanpa harus membayar uang kontrakan bulanan kini berubah kembali menjadi rumah kontrakan dengan uang sewa sebesar Rp 200.000,- sebulan. Harga sewa naik menjadi Rp 300.000,- tiga tahun kemudian. Pembaca, skenario Allah memang indah. Pepatah yang mengatakan “hidup bagaikan roda yang berputar” memang ada benarnya. Delapan tahun setelah kejadian penggusuran Kampung Rawa, saya resmi memasuki institusi Ditjen Pajak. Saya jadi orang pajak. Kini tiba saatnya bagi saya untuk berbagi. Allah telah membimbing saya untuk tidak takjub dengan gemilang dunia. Kejadian masa kecil di Kampung Rawa benar-benar mengingatkan saya bahwa ternyata kehidupan ini memang ujian dari-Nya. Dia hanya ingin menguji kesabaran kita dalam menjalani hidup. Pemahaman inilah yang akan membimbing kita agar tidak sombong dengan keberhasilan dan tidak berputus asa terhadap kegagalan. Kini setelah saya ditempatkan di Jakarta, ingatan masa kecil saya seolah-olah berputar kembali. Saat melewati jalan Jalan Sakti di depan Pusdiklat Pajak, mata ini selalu menoleh ke arah barat: Kampung Rawa. Bagaimana kabarmu? Hingga sekarang masih banyak warga yang tetap menghuni wilayah Kampung Rawa. Kebanyakan rumah-rumah semi permanen dan permanen sudah berdiri kembali. Warga tetap tenang melakukan kegiatan, bekerja dan berorganisasi. Informasi menyebutkan bahwa di sana ada kelompok tabungan ibu-ibu, kelompok radio komunitas, kelompok daur ulang sampah dan tim pijat alternatif. Semoga mereka menjadi orang sukses di dunia dan akhirat. Selayaknya kita memiliki sifat seperti batang padi. Semakin tinggi makin rendah hati. Semoga keberhasilan di dunia tidak membuat kita memandang rendah orang-orang di sekitar kita.
Jakarta, 17 Desember 2010.
Catatan: sebagian cerita khususnya sejarah Kampung Rawa dikutip dari kampungrawa-galur.blogspot.com, Forum Rakyat Miskin Kampung Rawa (FRMKR).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar