Selasa, 28 Juni 2011

Gerbong 4



Suara keras terdengar sangat jelas dari speaker stasiun Tanah Abang, “Perhatikan dari arah selatan jalur lima, kereta api Sudirman Ekspres tujuan Serpong segera masuk. Para penumpang diharapkan mempersiapkan diri di jalur lima.” Hampir sebagian besar penumpang mengarahkan pandangannya ke arah tangga menuju jalur lima. Ada dua pintu: utara dan selatan. Kaki-kaki mereka memperlihatkan ancang-ancang yang sempurna seperti atlet lari 100 meter yang hendak memenangkan olimpiade olahraga. Seseorang berjaket hitam yang dari tadi masih meletakkan tasnya di lantai, buru-buru mengambil serta menggendong tas kesayangannya seperti pedagang sayuran yang tiap hari menaiki kereta Rangkasbitung. Mereka bergerombol, menggeruduk pintu masuk jalur lima bagai semut yang berjejer lalu berlari dengan semangat karena ada makanan yang tersimpan di sudut pepohonan. Lalu, “Ngeeeng!” bel kereta menyapa setiap penumpang setianya.
Pintu otomatis kereta yang memakai sistem tekanan gas terbuka menyambut tamu kehormatan yang setiap hari selalu manaikinya. Tua, muda, laki-laki, perempuan, bujang, orang beristeri atau bersuami, janda atau duda, semua berebut masuk melalui pintu yang sempit. Aneh, padahal setahuku PT Kereta Api sudah menyediakan gerbong khusus perempuan pada ujung depan dan belakang kereta. Tapi, toh tetap saja para perempuan lebih suka berdesakan di gerbong dengan penumpang berjenis kelamin berbeda-beda. Entah dengan motif apa. Aku sendiri memilih masuk belakangan menunggu mereka masuk lebih dulu. Ternyata di belakangku masih ada sekitar sepuluh penumpang ingin juga kebagian tempat di dalam kereta.
Sore itu situasinya sangat kacau. Penumpang di dalam penuh sesak. Bahkan sebelum kereta masuk ke Tanah Abang gerbong sudah terisi penumpang dengan jumlah lumayan banyak. Jadilah kami para penumpang setia ini seperti pepes ikan teri. Dipepet kanan-kiri-depan-belakang, disikut, sampai-sampai mau meletakkan tas di rak pun tak sempat. Malah ada penumpang yang kulihat berdiri dengan sikap sempurna seperti tentara sedang apel sore. Bukan apa-apa, tangannya sudah tidak bisa lagi digerakkan. Memang pemandangan seperti bukan kali ini saja kualami. Pernah pada bulan Ramadhan tahun lalu kondisinya lebih parah daripada hari ini. Pasalnya, hampir semua penumpang menginginkan berbuka puasa di rumah, ditambah jam kantor yang lebih pendek, otomatis mereka pulang lebih awal. Kejadian yang sama kualami sore ini. Padahal ini bukan bulan Ramadhan, juga bukan hari Kamis atau Jumat. Hari ini adalah hari Rabu.
Tidak sampai tiga menit kurasakan badan kepanasan, padahalan ini kereta ber-AC. Aku sedikit maklum karena jumlah penumpang memang kelewat banyak. Aku memandang sekeliling, siapa tahu ada orang yang kukenal, setidaknya bisa kuajak sedikit nyengir mencoba sedikit menikmati situasi yang luar biasa ini. Sial! Semua yang kulihat terasa asing. Ada mbak-mbak pakai seragam Bank Mandiri yang parasnya te-o-pe be-ge-te, ibu-ibu berkerudung pakai pakaian sipil Pemprov DKI, dan di sampingku malah bapak-bapak berkumis tebal pakai tanda pengenal Kementerian Komunikasi dan Informatika. Ah, sudahlah! Tak perlu kenalan baru, tak perlu kawan lama. Yang penting bagiku adalah bagaimana supaya rasa panas ini bisa dikurangi barang sedikit. Kereta terkutuk, kataku dalam batin.
Aku tidak berputus asa. Mataku masih mencari kawan dengan pandangan nanar penuh penasaran, hingga akhirnya kulihat Hendry berada di tengah gerbong di antara penumpang yang berdesakan, persis berkas yang terselip di antara tumpukan buku. Aku biarkan dia dengan kepayahannya karena tidak ada yang bisa kulakukan selain itu.
Sampailah mataku mengarah pada tulisan di atas sambungan pintu gerbong, kubaca angka “4”. Deg! Rupanya aku baru sadar kalau gerbong yang kunaiki adalah gerbong 4. Kawanku yang baik hati di kantor pernah menasihati aku untuk tidak naik di gerbong itu karena AC-nya mati. Sebenarnya bukan mati, cuma hawa panasnya minta ampun. Jadi, di dalam gerbong AC tapi rasanya seperti dioven dalam suhu seratus lima puluh derajat. Abab thok, kata orang Jawa. Angin doang, tidak ada hawa dingin sama sekali.
Perkataan kawanku ada benarnya juga. Setidaknya aku membuktikannya selama hampir satu tahun sejak penempatanku di Jakarta. Selama itu aku menjadi penumpang setia kereta ekspres, dan selama itu pula berkali-kali gerbong 4 dalam keadaan panas luar biasa. Hari ini adalah hari pembenaran hipotesis kawanku itu. He he, seperti skripsi saja. Lalu aku berkata agak keras, “Hendry!” Kepala orang yang kupanggil menoleh ke arahku.
“Ada apa, Sal?” dia bertanya juga dengan suara yang agak keras.
“Kita berada di gerbong yang salah. Lihat tuh, angka 4!” aku mencoba menarik perhatian penumpang lain agar mereka tahu kalau gerbong ini memang jadi momok terutama mereka yang memperhatikan kualitas pelayanan PT Kereta Api.
“Jadi bagaimana?”
“Kita pindah aja ke sebelah.”
“Kenapa?”
“Gerbong ini dari dulu selalu mati AC-nya. Kita bisa mandi keringat di sini.”
“Oke kalau begitu.”
Segera kami berdua keluar dari gerbong 4 lalu berlari menuju gerbong 5 yang ada di sebelah selatan gerbong 4. Susah payah kami mendorong supaya penumpang mau bergeser ke tengah agar kami masih mendapatkan tempat. Akhirnya, keberuntungan masih berpihak pada aku dan Hendry. Ternyata benar, gerbong 5 terasa dingin seperti freezer. Beda dengan gerbong sebelah.
“Kok kamu tahu kalau gerbong 4 panas kayak gitu, Sal?” Hendry penasaran dengan pengetahuanku.
Kujelaskan, “Aku sudah melakukan survei,” aku berkata sedikit gaya, “hampir setahun ini kuamati gerbong 4 selalu begitu. Kuhitung sudah sepuluh kali nyasar ke gerbong itu dan kondisinya selalu sama. Heran, PT KA tidak pernah belajar dari keadaan. Pernah dulu kru PT KA kumarahi gara-gara tidak ada perbaikan AC secara signifikan. Ya, kayak gitu, deh! Anehnya lagi, orang-orang di PT KA tidak bertindak layaknya penyelenggara moda transportasi, tapi justeru menempatkan diri seperti penumpang biasa. Setiap ada masalah bukannya diatasi, malah dibiarkan!” Aku berkata bersemangat seperti komentator Liga Primer Inggris. Sotoy banget sih gua.
Selesai kalimatku yang terakhir, kira-kira lima orang ternyata mengikuti langkah kami. Mereka pindah dari gerbong 4 ke gerbong 5. Akan tetapi , karena empat pintu di gerbong ini sudah penuh sesak, terpaksa mereka lari ke gerbong 6, lalu 7, lalu 8 di gerbong khusus perempuan. Rupanya mereka punya keinginan yang sama denganku: menikmati dinginnya kereta api ekspres.
Nasib sial! Semua gerbong terisi penuh. Penuh sekali.
Karena tidak mendapatkan tempat, akhirnya mereka hendak kembali ke gerbong 4. Mereka berlari sekuat tenaga ketika sinyal tanda kereta akan berangkat terdengar nyaring dan cukup keras. Breg! Pintu otomatis tertutup setelah masinis menyatakan saat kereta berangkat telah tiba. Dengan wajah kesal dan menyesal, lima orang tadi hanya berdiri bengong dengan pandangan kosong melompong menyaksikan kereta ekspres berjalan pelan, lalu lari dengan kecepatan melebihi Usain Bolt, apalagi Mardi Lestari.
Wajah mereka sudah tidak kulihat lagi.

Tanah Abang, 5 Januari 2011.

Keretaku saya, perbaiki pelayananmu, dong akh!