Senin, 09 Januari 2012

Terlambat




Ada cerita menarik yang saya kutip dari kisah nyata seorang kawan isteri saya sewaktu kuliah di Jogja.
Suatu pagi di depan kelas, seorang dosen sedang mengajar mahasiswa. Tiba-tiba ada mahasiswi yang terlambat masuk dan meminta ijin sang dosen agar bisa mengikuti kuliah.
Mahasiswi tersebut berkata, “Maaf, Pak, saya terlambat.”
Dosen dengan agak marah lalu bertanya, “Lho, memang siapa yang bertanggung jawab? Kalau Saudara terlambat, silahkan hubungi pihak yang bertanggung jawab. Bukan saya!”
Mahasiswi tersebut kaget tapi juga kebingungan. Kalimat sang dosen seolah jadi pertanda kalau dia tidak diijinkan masuk dan mengikuti kuliah.
Sang dosen mengulangi pertanyaannya, “Saudara terlambat?”
“Iya, Pak.” jawab mahasiswi.
“Ya sudah, sekarang cari siapa yang bertanggung jawab sehingga Saudara terlambat. Kan saya tidak berbuat apa-apa sama Saudara. Kenapa lapor sama saya?”
Seketika kelas jadi ramai. Banyak mahasiswa yang tertawa karena baru menyadari kalau ternyata dosen tersebut hanya bercanda. Maksud dosen “terlambat” adalah terlambat datang bulan alias haid. Wajar saja, jika itu terjadi pada mahasiswinya, tentu ia menolak dengan keras laporan seperti itu. Mahasiswi tersebut akhirnya tersenyum lega ketika sang dosen melanjutkan pernyataannya, “Silahkan duduk.”

Terlambat adalah kalimat yang jamak diucapkan, kejadian yang tidak jarang menimpa kita, masyarakat kita, bahkan tokoh negara sekalipun. Terlambat masuk kelas, terlambat masuk kantor, terlambat mengikuti rapat, terlambat pulang ke rumah, sampai terlambat menerima gaji bulanan.
Pagi tadi saya mengalami keterlambatan (jam) masuk kantor yang mestinya tidak terjadi dan menimpa saya, juga rekan-rakan saya. Ceritanya begini.
Biasanya, saya keluar dari teras rumah pukl 05.30 atau maksimal 05.35 untuk bisa sampai di stasiun dan menumpang kereta commuter line (CL) yang berangkat tepat pukul 06.50. Karena situasi yang tidak memungkinkan, saya baru keluar rumah pukul 05.50 dan diperkirakan sampai di stasiun pukul 06.05. Itu berarti saya harus naik kereta CL pukul 06.14.
Sayang sekali, kereta yang mestinya berangkat pukul 06.14 (berarti seharusnya kereta tiba sebelum waktu 06.14), baru tiba di stasiun pukul 06.32. Ketika berhenti, kondisi penumpang penuh sesak. Sulit sekali dimasuki penumpang baru akibat dari keterlambatan pemberangkatan dari stasiun sebelumnya. Kontan sebagian besar penumpang tidak bisa masuk ke dalam kereta dan harus menunggu kedatangan kereta berikutnya.
Tepat pukul 06.42 kereta pun datang. Kali ini jumlah penumpang lebih sedikit daripada kereta sebelumnya. Lima menit kemudian, kereta melaju menuju Kebayoran Lama, Palmerah, dan mengakhiri perjalanannya di stasiun Tanah Abang. Sekitar pukul 07.00 kereta memasuki area stasiun Tanah Abang, tapi harus menunggu selama sepuluh menit karena jalur 6 tempat kereta kami lansir sudah dihuni terlebih dulu oleh kereta ekonomi tujuan Serpong. Tepat pukul 07.10 kereta kami masuk stasiun Tanah Abang.
Penumpang dengan lincah berloncatan dari pintu keluar kereta api menuju tangga stasiun, persis ikan hidup yang digoreng di penggorengan. Lincah sekali bergerak, dan nampak terburu-buru. Maklum, sebagian besar penumpang adalah karyawan baik negeri maupun swasta yang terikat dengan jam kedatangan kantor. Terlambat sedikit saja, potongan gaji siap menanti.
Sementara aku lebih memilih menikmati jalan kaki hingga ke pemberhentian bus dan angkutan kota di bawah flyover. Meskipun kecewa karena ternyata Kopaja 502 yang biasa kutumpangi belum datang (kulihat penumpang lain juga banyak menunggu), aku tetap bersikap tenang karena ada senjata pamungkas yang kumiliki yang akan kutunjukkan pada akhir tulisan ini.
Setelah menunggu sekitar lima menit, bus langganan pun tiba: Kopaja 502. Jalan pelan-pelan sambil menunggu penuh penumpang, bus pun akhirnya melaju dengan kecepatan normal. Sial! Di underpass Jatibaru, lampu lalu lintas menyala merah. Menunggu sekitar 30 detik, bus melaju cukup kencang dan aku berharap bisa tiba di kantor tepat waktu, maksimal pukul 07.30. Ternyata aku harus mendapati lampu merah untuk kedua kali, persis di perempatan Hotel Millennium, Kampung Bali. Sopir Kopaja melepas pedal gas dan menginjak rem kuat-kuat. Penumpang sebagian menahan posisi badannya dengan berpegangan tangan pada besi plafon bus agar tak terbawa ke depan. Tak berapa lama, lampu hijau menyala.
Kali ini bus melaju dengan kecepatan sedang karena tidak lama lagi pintu masuk menuju Bank Indonesia akan dilewati. Sebagian penumpang akan turun pada titik ini. Perjalanan dilanjutkan dan lagi-lagi kami harus berhenti di perempatan Kebon Sirih karena lampu lalu lilntas menyala merah. Seterusnya sampai di perempatan Sabang hingga bundaran Tugu Tani, lampu merah selalu menyala.
Teman sekantor menyapaku dan mengajakku berjalan cepat ketika sampai di lampu merah Tugu Tani, mengingat waktu semakin mepet. Aku lihat jam tangan, jarum menunjuk ke pukul 07.33. Jelas batas keterlambatan lewat sudah. Mendapati tawaran seperti itu, aku cuma senyum lalu kukatakan kepadanya, “Sudah terlambat, kok. Biar aja…”
Tak berapa lama, akhirnya jari jempol tangan kanan kuletakkan di mesin finger print tepat pukul 07.35. Ini berarti terlambat lima menit dari waktu yang ditentukan. Aku tetap santai. Anda mau tahu mengapa saya bersikap demikian? Inilah rahasianya:
Pasal 9 huruf c Peraturan Menteri Keuangan Nomor 214/PMK.01/2011 tanggal 14 Desember 2011 yang menyatakan, “Khusus bagi Pegawai yang berlokasi kerja di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta berlaku ketentuan sebagai berikut: Pegawai yang terlambat masuk bekerja sebagaimana dimaksud pada huruf a berupa Tingkat Keterlambatan 1 (TL 1) diwajibkan untuk mengganti waktu keterlambatan selama 30 (tiga puluh) menit setelah jam pulang bekerja pada hari yang bersangkutan.”
Hal tersebut berarti bahwa jika ada pegawai terlambat sampai batasan waktu TL 1 (terlambat sampai dengan 30 menit), pegawai tersebut “cukup” menggantikan jam kerja selama 30 menit setelah jam pulang kerja alias wajib lembur.
Ketentuan ini cukup manusiawi, mengingat transportasi di Jakarta memang cukup padat dan rawat terlambat. Contoh paling nyata adalah apa yang aku alami hari ini. Faktor-faktor di luar diri kita seperti kualitas pelayanan angkutan umum, cuaca, dan kepadatan lalu lintas, seringkali menjadi penyebab keterlambatan kita untuk datang ke kantor.
Dengan demikian, kita menjadi lebih tenang dan tidak perlu lagi terburu-buru datang ke kantor demi mengejar angka maksimal 07.30 terpampang di finger print dengan segala cara: naik bajaj, naik ojek, dengan kecepatan di atas rata-rata.Semoga ketentuan ini tidak kontrapoduktif dalam arti menjadikan kita meremehkan ketentuan jam kerja. Aturan bahwa kita harus hadir paling lambat pukul 07.30 tetap harus diikuti semampu kita. Jika toh ternyata kita harus datang terlambat, upayakan jangan disebabkan faktor internal karena kejujuran dan profesionalisme adalah nilai-nilai yang kita perjuangkan bersama di rumah kita yang bernama Kementerian Keuangan.

Jumat, 30 Desember 2011

Menjadi Pribadi PasTI (Landasan Menuju Nilai-nilai Kementerian Keuangan)



Dulu ketika kuliah, dosen idola saya pernah berkelakar kalau besok pada Hari Pembalasan akan ada banyak orang pajak yang kakinya berada di bibir neraka. Dia beralasan, betapa tidak sedikit peraturan perpajakan yang tidak saja merugikan Wajib Pajak (walaupun ini sangat subjektif), tetapi juga menyimpang dari filosofi dasar perpajakan. Belum lagi perilaku culas, serakah, dan koruptif. Saya tidak perlu memperpanjang filosofi apa yang dilanggar dan perilaku macam apa itu karena fokus tulisan saya bukan pada masalah ini. Jadi, masih kata dosen tadi, malaikat tinggal mendorong orang pajak itu dengan ujung jarinya maka masuklah dia ke dalam neraka. Banyak dari kawan sekelas saya yang tertawa mendengar kelakar tadi, tapi ada pula yang senyum kecut. Apa iya? Namanya juga guyon alias gojek.
Sementara itu, dalam sebuah pertemuan dengan kawan saya—seorang motivator yang kebetulan banyak berinteraksi dengan pegawai DJP—berdoa di hadapan saya dengan sebuah doa yang menurut saya optimistis dan sangat menyejukkan. Dia mendoakan agar pegawai maupun mantan pegawai DJP menjadi barisan terdepan dari orang-orang yang akan masuk sorga di Hari Akhir nanti. Waktu itu saya tertawa. “Bisa saja, kamu!” Tapi, sejurus kemudian wajahnya menjadi nampak serius.
Dia mengatakan bahwa alasan yang mendasari doanya adalah betapa besar peran yang dimainkan oleh pegawai DJP dalam menjaga eksistensi negara Indonesia. Saat ini penerimaan pajak menduduki posisi penting dalam penerimaan negara dengan persentase yang tidak bisa dikatakan kecil. Bahkan, sangat besar. Tidak bisa dibayangkan, katanya, saat ini jika Indonesia tanpa pajak. Ibarat hidup tanpa nyala listrik di era yang serbamodern. Tentu saja keutamaan itu bisa diraih dengan satu syarat: IKHLAS. Nah! Itu yang berat, batin saya. Dia lalu mengaitkan fakta itu dengan perkataan Nabi SAW, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling bermanfaat bagi manusia.”
Kedua, DJP adalah pelopor reformasi birokrasi dengan lompatan kemajuan yang signifikan di saat institusi/lembaga/kementeraian lainnya di jajaran birokrasi belum melakukannya. Sesaat memori saya tertuju pada hasil survei sebuah lembaga luar negeri tahun 2007 yang memasukkan DJP sebagai penyumbang terpenting bagi peningkatan indeks korupsi (yang berarti penurunan perilaku korupsi) di negeri ini.
Ketiga, saat ini DJP mendapatkan ujian yang bertubi-tubi terutama kiritik pedas, pesimisme, skeptisme, bahkan cacian dan makian dari masyarakat sehubungan dengan perilaku koruptif segelintir oknum di DJP. Ada yang gusar, merasa terusik, tapi tidak sedikit yang tetap dan terus bekerja sungguh-sungguh di tengah ujian besar itu—demi mengisi pundi-pundi penerimaan negara. Bukankah beratnya ujian disesuaikan dengan kadar keimanan seseorang? Semakin kuat spiritual seseorang, semakin besar ujian yang akan dihadapi dan itu membuktikan bahwa Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa, masih menyayangi kita. Ujian diberikan kepada siapa saja untuk meningkatkan derajatnya di hadapan Tuhan. Mengenai ini, kawan saya menyitir satu ayat dalam Alquran, “Apakah kamu akan dibiarkan mengaku beriman padahal kamu belum diuji?”
Pada akhir uraian, kawan saya memuji semangat jajaran DJP yang tengah berusaha menegakkan nilai-nilai luhur berupa integritas, profesionalisme, inovasi, dan teamwork. Nilai-nilai itu sejalan dan amat bersesuaian dengan sifat-sifat yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul yang diutus kepada umat manusia untuk membawa kabar gembira berupa keselamatan bagi siapa yang mau mengikutinya.
Integritas adalah kata lain dari sifat SHIDIQ yang berarti jujur. Jujur bermakna satunya kata dan perbuatan. Orang yang antara perkataan dan perbuatannya kontradiktif menandakan bahwa dia belum jujur baik kepada diri sendiri, orang lain, apalagi Allah SWT.
Profesionalisme sejalan dengan sifat AMANAH. Orang yang profesional akan menjalankan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya dengan penuh tanggung jawab sesuai dengan SOP dan ketentuan yang berlaku, tanpa sedikit pun mencoba berlaku curang atau menyimpang. Amanah erat kaitannya dengan kejujuran. Semakin jujur seseorang, semakin banyak amanah yang akan dia terima karena semua orang percaya kepadanya. Amanah di RT, RW, tempat kerja, masjid, komunitas, dan sebagainya, ditentukan oleh seberapa mampu seseorang bersifat jujur. Jika amanah disia-siakan, semua kepercayaan masyarakat seketika akan runtuh.
Inovasi merupakan perwujudan dari kecerdasasan seseorang yang menandakan bahwa dia mempunyai sifat FATHONAH. Jika dikaitkan dengan integritas dan profesionalisme, seseorang yang mendapatkan amanah demikian banyak yang disebabkan kejujurannya, akan mencoba mencari cara terbaik dalam menjalankan amanah itu. Di sinilah inovasi diperlukan. Seorang kepala kantor harus cerdas menyiasati agar mampu mengelola semua lini di kantornya secara efisien dan efektif. Demikian pula pegawai pada level yang lain. Jika inovasi tidak ada, pekerjaan akan jalan apa adanya dan itu pertanda bahwa bemper amanah akan terkikis. Lama-kelamaan kepercayaan orang akan hilang.
Teamwork menunjukkan kemampuan seseorang baik sebagai staf maupun leader dalam berkomunikasi. Komunikasi berarti menyampaikan sesuatu (pesan) kepada orang lain yang mengarah pada kerja sama tim sehingga tercipta sinergi. Hal ini identik dengan sifat TABLIGH. Seorang pegawai yang baik harus mampu berkomunikasi dengan siapa saja tanpa harus memilih. Dia harus bisa bekerja dengan siapa saja. Tidak ada polarisasi, tidak ada eksklusivitas.
Mampukah kita berbuat demikian? Semoga.

Jakarta, 5 Februari 2011

Kamis, 29 Desember 2011

Dari Kampung Rawa ke DJP



Saya tidak menyangka bahwa skenario Yang Maha Kuasa mengantarkan saya untuk mengabdi dan berkarya pada institusi Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Di sini rupanya berkumpul orang-orang yang bekerja menghimpun penerimaan negara. Dulu kami menyebutnya “orang pajak”. Setahu saya, orang pajak itu dermawan, suka memberi. Buktinya, paman saya paling senang kalau martabak dagangannya dibeli oleh langganannya dari kantor pajak karena mereka tidak saja ramah, tapi juga selalu membayar lebih besar daripada harga yang sebenarnya. Misalnya harga martabak dengan tiga telur ketika itu Rp 5.000,- maka si orang pajak tadi selalu membayar Rp 10.000,- tanpa minta uang kembali. “Buat Bapak aja,” katanya. Ini adalah kisah nyata yang dialami paman saya yang sampai sekarang masih berdagang martabak telor di depan apotek Gitamara Kemanggisan. Bukan hanya dermawan, tapi juga shalih. Buktinya, Masjid At Taqwa di kompleks pajak Kemanggisan berdiri dengan megah dan jamaahnya selalu banyak. Saya dulu selalu shalat Jumat di situ. Dalam benak saya ketika itu, “Hebat juga ya, orang pajak. Shalatnya rajin!” Selain jamaah yang banyak, masjid ini selalu membagikan daging kurban dalam jumlah yang cukup banyak apabila lebaran Idul Adha tiba. Saya juga mendapatkan jatah dagingnya untuk dimasak ibu saya. Biasanya jadi sate atau dendeng dicampur srundeng. Biar awet, katanya. Pembaca, saya yang saat ini menjadi pegawai DJP, dulu adalah penghuni Kampung Rawa yang terletak di sebelah barat Pusdiklat Pajak, Kemanggisan, Jakarta Barat. Menurut cerita yang saya dapat, dulu sekitar tahun 1960-an kampung ini masih berupa rawa-rawa luas yang terlantar (tanah tidur). Di sekitar pinggiran rawa itu, warga lama bercocok tanam sayur-sayuran dan menguruk rawa-rawa tersebut sedikit demi sedikit. Sekitar tahun 1965 warga mulai membangun rumah panggung sangat sederhana untuk tempat tinggal keluarganya. Bangunan rumah baru sedikit, hanya satu dua rumah saja yang terlihat. Sekitar tahun 1970, mulai banyak warga yang berdatangan entah dari mana untuk ikut mendirikan rumah di sekitar rawa-rawa tersebut. Maka, rumah kelihatan sudah mulai banyak. Pendirian rumah terus berlanjut hingga rawa-rawa itu tinggal kelihatan sedikit. Rumah berdiri dengan bentuk permanen dan semi permanen. Pertengahan tahun 1980-an, bangunan rumah warga Kampung Rawa mulai diperjualbelikan dari tangan ke tangan oleh calo tanah. Penjualan yang tidak resmi, memang. Tanpa sertifikat tanah. Meskipun demikian, tanah di tempat itu tetap dibeli orang. Orang tua saya mulai menghuni Kampung Rawa pada akhir tahun 1980-an setelah pindah dari kontrakannya di Palmerah (sekarang Kemanggisan Pulo), dekat Kuburan Besar Kemanggisan. Penghuni Kampung Rawa rata-rata adalah pedagang kaki lima, asongan, buruh bangunan bahkan pengemis. Ayah saya termasuk yang pertama, pedagang kaki lima di kawasan Pancoran. Kami menempati petak rumah (kalau bisa disebut rumah) seluas 1,5 kali 6 meter atau 9 meter persegi. Sejatinya itu adalah lorong antara rumah paman saya dan tetangganya. Daripada nganggur, kami berinisiatif memasang tiang dari kayu sederhana lalu diberi tripleks tipis ditambah dua pintu. Untuk memberi warna cerah, tripleks itu lalu ditempeli kertas putih yang dibeli secara kiloan kemudian dilekatkan dengan lem yang terbuat dari tepung kanji. Satu per satu kertas direkatkan sehingga seperti habis dicat warna putih. Jadilah rumah kami yang sangat indah saat itu. Lantainya dari plester semen tipis dilapisi karpet plastik supaya kelihatan manis. Jadi pantas dilihat kalau ada tamu datang. Kamar mandi? Heh, jangan tanya. Keluarga kami menumpang mandi di kamar mandi milik paman. Untuk kakus, warga biasa menggunakan jamban umum terbuka yang terbuat dari kayu dan dibangun di atas rawa, di depan rumah kami. Ini sungguhan, bukan rekayasa. Sebuah peristiwa memilukan terjadi. Berikut kronologisnya. Menurut sebuah catatan, pada tanggal 2 Oktober 1991 ada pemberitahuan lewat Walikota Jakarta Barat bahwa tanah hunian warga Kampung Rawa adalah tanah milik Ditjen Pajak, oleh karena itu, warga diminta pindah dan membongkar bangunannya. Warga tetap bertahan, serta tak mau membongkar dan meninggalkan rumah mereka. Berikutnya, 6 Januari 1992, Walikota Jakarta Barat mengeluarkan Surat Perintah Bongkar (SPB) tetapi warga menolak pembongkaran tersebut. Tanggal 13, 14, dan 15 Februari 1992, terjadilah peristiwa pembongkaran paksa yang dilakukan oleh tim terpadu (Kamtib bersama angkatan berseragam dan bersenjata lengkap di bawah komando BAKORTANASDA bersama tukang pukulnya). Akibatnya, warga yang tidak mampu menjadi berantakan tinggal di kolong-kolong jembatan, menjadi gelandangan, pengemis, serta banyak anak yang putus sekolah dan frustrasi berat bahkan ada yang meninggal dunia. Keluarga kami akhirnya pindah dan mengontrak di Pejaten Barat, Pasar Minggu. Rumah yang sebelumnya kami tempati tanpa harus membayar uang kontrakan bulanan kini berubah kembali menjadi rumah kontrakan dengan uang sewa sebesar Rp 200.000,- sebulan. Harga sewa naik menjadi Rp 300.000,- tiga tahun kemudian. Pembaca, skenario Allah memang indah. Pepatah yang mengatakan “hidup bagaikan roda yang berputar” memang ada benarnya. Delapan tahun setelah kejadian penggusuran Kampung Rawa, saya resmi memasuki institusi Ditjen Pajak. Saya jadi orang pajak. Kini tiba saatnya bagi saya untuk berbagi. Allah telah membimbing saya untuk tidak takjub dengan gemilang dunia. Kejadian masa kecil di Kampung Rawa benar-benar mengingatkan saya bahwa ternyata kehidupan ini memang ujian dari-Nya. Dia hanya ingin menguji kesabaran kita dalam menjalani hidup. Pemahaman inilah yang akan membimbing kita agar tidak sombong dengan keberhasilan dan tidak berputus asa terhadap kegagalan. Kini setelah saya ditempatkan di Jakarta, ingatan masa kecil saya seolah-olah berputar kembali. Saat melewati jalan Jalan Sakti di depan Pusdiklat Pajak, mata ini selalu menoleh ke arah barat: Kampung Rawa. Bagaimana kabarmu? Hingga sekarang masih banyak warga yang tetap menghuni wilayah Kampung Rawa. Kebanyakan rumah-rumah semi permanen dan permanen sudah berdiri kembali. Warga tetap tenang melakukan kegiatan, bekerja dan berorganisasi. Informasi menyebutkan bahwa di sana ada kelompok tabungan ibu-ibu, kelompok radio komunitas, kelompok daur ulang sampah dan tim pijat alternatif. Semoga mereka menjadi orang sukses di dunia dan akhirat. Selayaknya kita memiliki sifat seperti batang padi. Semakin tinggi makin rendah hati. Semoga keberhasilan di dunia tidak membuat kita memandang rendah orang-orang di sekitar kita.
Jakarta, 17 Desember 2010.
Catatan: sebagian cerita khususnya sejarah Kampung Rawa dikutip dari kampungrawa-galur.blogspot.com, Forum Rakyat Miskin Kampung Rawa (FRMKR).

Tahun Kesedihan



Kehidupan manusia banyak berupa pengulangan dari kejadian masa lalu dengan beberapa modifikasi sesuai dengan kemampuan manusia menangani masalah dan persoalan yang dihadapi. Jika kita saat ini mengalami kesedihan, jangan lupa bahwa orang-orang terdahulu pun mengalami hal yang sama, bahkan bisa jadi lebih sulit lagi. Jika ada orang yang merasa terzalimi, ingatlah bahwa pada masa lampau sudah banyak orang yang teraniaya baik karena ulah penguasa atau karena kesalahannya sendiri. Oleh karena itu, sangat bijak nasihat pahlawan proklamator kita, Bung Karno, untuk tidak sekali-kali melupakan sejarah.
Ada kejadian yang sangat menggemparkan pada kuartal pertama tahun 2010 yang dengannya sendi-sendi kepercayaan publik kepada pemerintah nyaris berada pada titik nadir. Peristiwa yang hampir semua penduduk di negeri bernama Indonesia tidak akan melupakannya. Kejadian yang mirip sebuah sandiwara, tetapi nampak nyata. Peristiwa ketika seorang anak negeri—dalam usia masih sangat muda—melakukan perbuatan tercela menerima sejumlah uang yang mestinya bukan menjadi haknya, kemudian dituntut dengan tuntutan yang sangat ringan dan bahkan dibebaskan oleh pengadilan. Media massa pada pertengahan Maret 2010 mencatat sebuah nama untuk kasus yang satu ini: Gayus Halomoan Partahanan Tambunan atau biasa disebut dengan Gayus Tambunan.
Kasus ini bermula dari pernyataan mantan Kabareskrim Polri, Susno Duadji, pada tanggal 18 Maret 2010 yang menyebut bahwa ada perwira tinggi kepolisian sengaja membuka blokir rekening pegawai pajak berinisial GT senilai Rp 28 milyar padahal saldo uang dalam rekening tersebut akan dijadikan alat bukti tindak pidana yang tengah disidangkan di Pengadilan Negeri Tangerang. Kala itu, Susno Duadji menyebut istilah makelar kasus atau markus. Maksud hati menyerang sejumlah petinggi di kepolisian, tiupan angin Susno Duadji justeru berhembus kencang di Ditjen Pajak. Bukan perwira kepolisian lagi yang menjadi fokus perhatian kasus ini, melainkan aparat dan institusi Ditjen Pajak.
Saya menyebut kasus Gayus Tambunan sebagai sesuatu yang menggemparkan dan menyebabkan kepercayaan publik nyaris pada titik nadir, bukanlah tanpa alasan. Fakta menunjukkan bahwa hanya dalam tempo sekitar dua bulan sejak kasus Gayus Tambunan diberitakan dengan sangat bombastis oleh media massa, publik melalui jejaring sosial facebook menyerukan gerakan boikot bayar pajak. Meskipun sang penyeru dan pengikutnya belum tentu merepresentasikan suara para Wajib Pajak, seruan tersebut terdengar sangat nyaring di berbagai media seolah mengamini apa yang menjadi harapan pihak-pihak yang selama ini senang mengemplang bayar pajak.
Belum lagi seruan boikot bayar pajak surut, cobaan berat juga dialami para PNS Ditjen Pajak dalam berbagai bentuk. Ada yang dituduh korupsi hanya karena mempunyai rumah dan mobil bagus, dikucilkan dalam forum rapat RT, bahkan ditolak orang tua dan kerabat ketika memberikan sejumlah uang padahal uang itu halal adanya. Belum lagi jika ada pegawai naik angkutan umum hendak turun di Kantor Pusat Ditjen Pajak diteriaki kondektur dengan mengatakan, “Gayus, Gayus…!” Saya sendiri mendengar bisik-bisik tetangga di teras, ada yang mengatakan, “O… ternyata orang pajak bisa kayak caranya gitu ya?” Kebetulan di kompleks tempat saya tinggal banyak alumni STAN yang bekerja di kantor pelayanan pajak.
Reaksi pegawai Ditjen Pajak juga beragam. Ada yang menganggapnya sebagai isu yang suatu saat pasti akan hilang (karena bangsa Indonesia adalah bangsa pelupa), ada yang lebih bersemangat dalam bekerja dengan harapan tudingan miring masyarakat dapat diatasi melalui kerja nyata. Namun, ada juga yang memutuskan atau setidaknya mempertimbangkan untuk mengundurkan diri atau keluar dari pekerjaannya sebagai PNS Ditjen Pajak, dengan segala risiko yang harus dihadapi terutama soal finansial. Saya menyebut tahun 2010 sebagai ‘amul huzni (tahun kesedihan) bagi keluarga besar Ditjen Pajak.
Istilah ‘amul huzni saya ambil dari catatan sejarah ketika Nabi Muhammad SAW ditinggalkan oleh orang-orang tercintanya yaitu Abu Thalib (paman yang selalu memberikan perlindungan bagi tugas dakwah beliau) dan istri beliau, Khadijah, yang wafat pada sekitar dua atau tiga bulan setelah wafat Abu Thalib. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun kesepuluh kenabian, ketika usia Nabi Muhammad SAW menginjak 50 tahun. Pada masa itu cobaan yang beliau alami lebih berat daripada saat Abu Thalib dan Khadijah masih hidup. Ini hanyalah sebuah pengandaian, permisalan yang mungkin tidak seluruhnya tepat.
Gayus Tambunan bukanlah orang lama bekerja di Ditjen Pajak, tetapi juga bukan orang yang baru sama sekali. Pada saat kasusnya mencuat, dia telah mengalami masa kerja selama sepuluh tahun. Selama masa kerja itu, media mencatat kekayaan Gayus telah mencapai Rp 100 milyar baik berbentuk uang rupiah dan dolar, maupun emas batangan, dari hasil kongkalingkongnya dengan Wajib Pajak. Sebuah angka yang sangat besar bila dibandingkan dengan kewajaran penghasilan pegawai pada umumnya. Publik lalu menggeneralisasi angka tersebut dengan mengatakan, “Jika Gayus yang hanya golongan III/a dan bekerja selama sepuluh tahun bisa meraup uang sebesar itu, bagaimana dengan pegawai yang bergolongan lebih tinggi dengan masa kerja yang tentunya lebih lama lagi?” Sebuah pertanyaan sekaligus pernyataan yang tendensius dan tidak mudah dijawab mengingat berkaitan dengan persoalan integritas pegawai dalam bekerja dan mencari rejeki yang halal. Di sini lain, layak diketahui bahwa tidak semua pegawai Ditjen Pajak berkelakuan seperti Gayus.
Persoalan kewajaran harta pegawai Ditjen Pajak inilah yang banyak ditanyakan publik. Maka, beberapa saat kemudian, perhatian masyarakat beralih pada wajar tidaknya laporan kekayaan pegawai Ditjen Pajak di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan menyoroti dua titik rawan: jumlah harta kekayaan dan sumbernya.
Jadilah kini Ditjen Pajak sebagai institusi yang begitu mudahnya diobok-obok atas nama pembersihan institusi, normalisasi kewibawaan pemerintah, sampai pemberian sanksi kepada pegawai yang diindikasikan menyalahgunakan jabatan dan wewenang. Batasan kerahasiaan jabatan sebagaimana amanah Pasal 34 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan tidak lagi diindahkan, bahkan cenderung dilanggar. Lihat saja kejadian ketika Menteri Keuangan meloloskan permintaan kepolisian agar Ditjen Pajak memberikan data nama-nama Wajib Pajak yang diindikasikan berhubungan dengan kasus Gayus Tambunan padahal Wajib Pajak tersebut tidak sedang disidang di pengadilan. Permintaan tersebut menjadi buah simalakama untuk dipenuhi oleh aparat Ditjen Pajak. Di satu sisi, aparat diminta merahasiakan hal-hal yang diketahuinya mengenai Wajib Pajak kepada pihak lain, sementara Menteri Keuangan telah memerintahkan agar aparat pajak memberikan data nama-nama Wajib Pajak yang terkait dengan kasus Gayus. Pilihan yang tidak mudah.
Sebagai bagian dari keluarga besar Ditjen Pajak, saya mesti mengambil sikap berkaitan dengan badai yang tengah melanda institusi tempat saya bekerja. Saya sangat memahami kegalauan sebagian besar pegawai Ditjen Pajak sebagaimana juga pernah saya alami. Bagaimana tidak. Kami harus membagi konsentrasi untuk bekerja sebagaimana biasa, tetapi di sisi lain kerja keras kami seolah-olah tidak dihargai. Masyarakat dengan seenaknya menuduh semua pegawai Ditjen Pajak bobrok moral. Apalagi jika menilik komentar berita di internet, miris sekali hati ini. Tapi, sebagai insan yang memiliki keyakinan kepada Allah, saya teringat pada sebuah firman Allah dalam kitab-Nya yang suci dan mulia, “(orang-orang yang sabar adalah) orang yang ketika mendapatkan musibah mereka berkata, ‘Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Allah’. Mereka itulah orang-orang yang mendapatkan keselamatan dan kasih sayang dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Quran Surat Al Baqarah ayat 156-157).
Masih ada satu lagi nasihat yang pernah saya dengar berkaitan dengan sikap kita manakala menghadapi ujian dan cobaan dalam hidup. Difirmankan dalam Alquran Surat Ali Imran ayat 146, “Dan berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar.”
Ayat tersebut meskipun berbicara tentang perang Uhud pada masa Nabi Muhammad SAW menghadapi pasukan Quraisy Mekah, ditutup dengan kalimat “Allah menyukai orang-orang yang sabar”. Itu berarti ayat ini berbicara tentang sifat-sifat orang yang sabar yaitu:
1. Tidak menjadi lemah karena mendapatkan bencana;
2. Tidak lesu ketika ada masalah;
3. Tidak mudah menyerah menghadapi persoalan hidup.
Dua nasihat dalam firman-Nya yang agung di atas mengingatkan kita agar segera menyadari bahwa ujian yang menimpa Ditjen Pajak sebagai tulang punggung pencari penerimaan negara, hakikatnya datang dari Allah dan harus disikapi dengan arif, kembali kepada-Nya. Itu berarti pihak-pihak yang memang bersalah layak untuk dihukum, sementara orang-orang yang tidak bersalah tidak sepatutnya mendapatkan getah akibat tindakan oknum di Ditjen Pajak.
Kedua, perlu kesadaran kita semua sebagai aparat Ditjen Pajak untuk memiliki mental baja di tengah cibiran dan gunjingan masyarakat. Kita berusaha untuk tidak terlalu peduli—bukan tidak peduli sama sekali—terhadap tudingan miring masyarakat, apalagi jika kita memang tidak melakukan tindak kejahatan. Dalam bahasa KITSDA, “Kalau benar, mengapa mesti gusar?”.
Ketiga, kita harus punya keyakinan bahwa setiap masalah pasti ada solusinya. Oleh karena itu, tidak layak jika kita sebagai insan beriman hanya duduk berpangku tangan membiarkan orang-orang yang tidak suka institusi Ditjen Pajak yang tengah berbenah melakukan reformasi birokrasi—kami menyebutnya modernisasi DJP—merusak institusi pengaman penerimaan pajak ini. Sementara itu, bisa jadi, ketidakpercayaan publik kepada Ditjen Pajak berimbas pada ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah. Jika ini terjadi, tidak mustahil kekacauan di negeri ini kembali terulang. Sesuatu yang sangat tidak kita inginkan.
Sebagai bagian akhir, saya ingin menyampaikan bahwa saat ini—pertengahan tahun 2011—pengadilan telah memutuskan pihak-pihak yang bersalah melakukan tindakan pidana baik dari Ditjen Pajak, kepolisian, maupun kejaksaan. Biarlah proses hukum itu berjalan sebagaimana mestinya. Sebagai aparat Ditjen Pajak, sudah selayaknya kita mensyukuri karunia Allah berupa modernisasi Ditjen Pajak dengan segala dampak positif yang ditimbulkan, mulai dari peningkatan disiplin pegawai, perubahan mind set pegawai ke arah yang positif, peningkatan penerimaan pajak yang cukup signifikan, termasuk pemberian remunerasi berdasarkan tingkatan kinerja pegawai. Bentuk rasa syukur yang paling nyata adalah dengan bekerja dengan sungguh-sungguh sesuai dengan standard operating procedure (SOP), kode etik pegawai, dan keahlian kita. Berikutnya, kita berkewajiban mengawal terus proses reformasi birokrasi di Ditjen Pajak ini agar senantiasa berada di rel yang benar dan tidak membelokkannya ke arah yang tidak kita inginkan.
Ditjen Pajak adalah milik bangsa, milik kita bersama. Denyut nadi kehidupan bernegara sangat ditentukan oleh kesehatan finansial yang bersumber dari pajak. Oleh karena itu, mari kita tetap bertahan di tengah badai yang berpotensi merusak semangat reformasi di Ditjen Pajak dengan tetap mengharapkan taufik-Nya, menegakkan kepala seraya tetap bekerja untuk Indonesia.
Jurangmangu, awal Agustus 2011.

Selasa, 28 Juni 2011

Gerbong 4



Suara keras terdengar sangat jelas dari speaker stasiun Tanah Abang, “Perhatikan dari arah selatan jalur lima, kereta api Sudirman Ekspres tujuan Serpong segera masuk. Para penumpang diharapkan mempersiapkan diri di jalur lima.” Hampir sebagian besar penumpang mengarahkan pandangannya ke arah tangga menuju jalur lima. Ada dua pintu: utara dan selatan. Kaki-kaki mereka memperlihatkan ancang-ancang yang sempurna seperti atlet lari 100 meter yang hendak memenangkan olimpiade olahraga. Seseorang berjaket hitam yang dari tadi masih meletakkan tasnya di lantai, buru-buru mengambil serta menggendong tas kesayangannya seperti pedagang sayuran yang tiap hari menaiki kereta Rangkasbitung. Mereka bergerombol, menggeruduk pintu masuk jalur lima bagai semut yang berjejer lalu berlari dengan semangat karena ada makanan yang tersimpan di sudut pepohonan. Lalu, “Ngeeeng!” bel kereta menyapa setiap penumpang setianya.
Pintu otomatis kereta yang memakai sistem tekanan gas terbuka menyambut tamu kehormatan yang setiap hari selalu manaikinya. Tua, muda, laki-laki, perempuan, bujang, orang beristeri atau bersuami, janda atau duda, semua berebut masuk melalui pintu yang sempit. Aneh, padahal setahuku PT Kereta Api sudah menyediakan gerbong khusus perempuan pada ujung depan dan belakang kereta. Tapi, toh tetap saja para perempuan lebih suka berdesakan di gerbong dengan penumpang berjenis kelamin berbeda-beda. Entah dengan motif apa. Aku sendiri memilih masuk belakangan menunggu mereka masuk lebih dulu. Ternyata di belakangku masih ada sekitar sepuluh penumpang ingin juga kebagian tempat di dalam kereta.
Sore itu situasinya sangat kacau. Penumpang di dalam penuh sesak. Bahkan sebelum kereta masuk ke Tanah Abang gerbong sudah terisi penumpang dengan jumlah lumayan banyak. Jadilah kami para penumpang setia ini seperti pepes ikan teri. Dipepet kanan-kiri-depan-belakang, disikut, sampai-sampai mau meletakkan tas di rak pun tak sempat. Malah ada penumpang yang kulihat berdiri dengan sikap sempurna seperti tentara sedang apel sore. Bukan apa-apa, tangannya sudah tidak bisa lagi digerakkan. Memang pemandangan seperti bukan kali ini saja kualami. Pernah pada bulan Ramadhan tahun lalu kondisinya lebih parah daripada hari ini. Pasalnya, hampir semua penumpang menginginkan berbuka puasa di rumah, ditambah jam kantor yang lebih pendek, otomatis mereka pulang lebih awal. Kejadian yang sama kualami sore ini. Padahal ini bukan bulan Ramadhan, juga bukan hari Kamis atau Jumat. Hari ini adalah hari Rabu.
Tidak sampai tiga menit kurasakan badan kepanasan, padahalan ini kereta ber-AC. Aku sedikit maklum karena jumlah penumpang memang kelewat banyak. Aku memandang sekeliling, siapa tahu ada orang yang kukenal, setidaknya bisa kuajak sedikit nyengir mencoba sedikit menikmati situasi yang luar biasa ini. Sial! Semua yang kulihat terasa asing. Ada mbak-mbak pakai seragam Bank Mandiri yang parasnya te-o-pe be-ge-te, ibu-ibu berkerudung pakai pakaian sipil Pemprov DKI, dan di sampingku malah bapak-bapak berkumis tebal pakai tanda pengenal Kementerian Komunikasi dan Informatika. Ah, sudahlah! Tak perlu kenalan baru, tak perlu kawan lama. Yang penting bagiku adalah bagaimana supaya rasa panas ini bisa dikurangi barang sedikit. Kereta terkutuk, kataku dalam batin.
Aku tidak berputus asa. Mataku masih mencari kawan dengan pandangan nanar penuh penasaran, hingga akhirnya kulihat Hendry berada di tengah gerbong di antara penumpang yang berdesakan, persis berkas yang terselip di antara tumpukan buku. Aku biarkan dia dengan kepayahannya karena tidak ada yang bisa kulakukan selain itu.
Sampailah mataku mengarah pada tulisan di atas sambungan pintu gerbong, kubaca angka “4”. Deg! Rupanya aku baru sadar kalau gerbong yang kunaiki adalah gerbong 4. Kawanku yang baik hati di kantor pernah menasihati aku untuk tidak naik di gerbong itu karena AC-nya mati. Sebenarnya bukan mati, cuma hawa panasnya minta ampun. Jadi, di dalam gerbong AC tapi rasanya seperti dioven dalam suhu seratus lima puluh derajat. Abab thok, kata orang Jawa. Angin doang, tidak ada hawa dingin sama sekali.
Perkataan kawanku ada benarnya juga. Setidaknya aku membuktikannya selama hampir satu tahun sejak penempatanku di Jakarta. Selama itu aku menjadi penumpang setia kereta ekspres, dan selama itu pula berkali-kali gerbong 4 dalam keadaan panas luar biasa. Hari ini adalah hari pembenaran hipotesis kawanku itu. He he, seperti skripsi saja. Lalu aku berkata agak keras, “Hendry!” Kepala orang yang kupanggil menoleh ke arahku.
“Ada apa, Sal?” dia bertanya juga dengan suara yang agak keras.
“Kita berada di gerbong yang salah. Lihat tuh, angka 4!” aku mencoba menarik perhatian penumpang lain agar mereka tahu kalau gerbong ini memang jadi momok terutama mereka yang memperhatikan kualitas pelayanan PT Kereta Api.
“Jadi bagaimana?”
“Kita pindah aja ke sebelah.”
“Kenapa?”
“Gerbong ini dari dulu selalu mati AC-nya. Kita bisa mandi keringat di sini.”
“Oke kalau begitu.”
Segera kami berdua keluar dari gerbong 4 lalu berlari menuju gerbong 5 yang ada di sebelah selatan gerbong 4. Susah payah kami mendorong supaya penumpang mau bergeser ke tengah agar kami masih mendapatkan tempat. Akhirnya, keberuntungan masih berpihak pada aku dan Hendry. Ternyata benar, gerbong 5 terasa dingin seperti freezer. Beda dengan gerbong sebelah.
“Kok kamu tahu kalau gerbong 4 panas kayak gitu, Sal?” Hendry penasaran dengan pengetahuanku.
Kujelaskan, “Aku sudah melakukan survei,” aku berkata sedikit gaya, “hampir setahun ini kuamati gerbong 4 selalu begitu. Kuhitung sudah sepuluh kali nyasar ke gerbong itu dan kondisinya selalu sama. Heran, PT KA tidak pernah belajar dari keadaan. Pernah dulu kru PT KA kumarahi gara-gara tidak ada perbaikan AC secara signifikan. Ya, kayak gitu, deh! Anehnya lagi, orang-orang di PT KA tidak bertindak layaknya penyelenggara moda transportasi, tapi justeru menempatkan diri seperti penumpang biasa. Setiap ada masalah bukannya diatasi, malah dibiarkan!” Aku berkata bersemangat seperti komentator Liga Primer Inggris. Sotoy banget sih gua.
Selesai kalimatku yang terakhir, kira-kira lima orang ternyata mengikuti langkah kami. Mereka pindah dari gerbong 4 ke gerbong 5. Akan tetapi , karena empat pintu di gerbong ini sudah penuh sesak, terpaksa mereka lari ke gerbong 6, lalu 7, lalu 8 di gerbong khusus perempuan. Rupanya mereka punya keinginan yang sama denganku: menikmati dinginnya kereta api ekspres.
Nasib sial! Semua gerbong terisi penuh. Penuh sekali.
Karena tidak mendapatkan tempat, akhirnya mereka hendak kembali ke gerbong 4. Mereka berlari sekuat tenaga ketika sinyal tanda kereta akan berangkat terdengar nyaring dan cukup keras. Breg! Pintu otomatis tertutup setelah masinis menyatakan saat kereta berangkat telah tiba. Dengan wajah kesal dan menyesal, lima orang tadi hanya berdiri bengong dengan pandangan kosong melompong menyaksikan kereta ekspres berjalan pelan, lalu lari dengan kecepatan melebihi Usain Bolt, apalagi Mardi Lestari.
Wajah mereka sudah tidak kulihat lagi.

Tanah Abang, 5 Januari 2011.

Keretaku saya, perbaiki pelayananmu, dong akh!